Insitekaltim,Samarinda– Banyak petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) ditingkat kelurahan tak mempublikasi hasil hitung suara di wilayah kerjanya.
Padahal perintah publikasi itu sesuai UU Nomor 7/2017 pemilu. Pasal 391 menyebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) wajib mengumumkan salinan sertifkat hasil penghitungan suara di seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempel salinan tersebut ke tempat umum.
Temuan pelanggaran itu disampaikan Denny Adam Erlangga Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaltim, pada Selasa 22 April 2019.di Cafe Delight Juanda
Denny menyebut tim dari KIPP telah disebar ke beberapa kelurahan namun tidak ditemukan publikasi rekapitulasi suara.
Perbuatan PPS tak mempublikasi hasil rekapan suara tersebut berdampak pada sanksi pidana.
Pasal 508 UU 7/ 2017 Pemilu menyebut bagi anggota PPS yang tidak mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
“Untuk itu kami ultimatum 1X24 jam agar segera di publikasikan. Sesuai UU PPS punya waktu 7 hari mempublikasi. Jika tidak kami akan laporkan ke Bawaslu dan KPU,” ungkapnya.
KIPP menduga dengan tidak membuka data itu akan membuka ruang bagi oknum pelaksana untuk mengotak-atik suara suara. Misalnya berpindah suara dari caleg tertentu ke caleg lain atau penggelembungan suara.
Selain itu, KIPP mencatat ada banyak temuan didapat oleh timnya dilapangan. Seperti adanya peluang penggelembungan suara, perbedaan data antara DPT pada TPS tertentu dengan jumlah suara suara yang tercoblos. Kejadian ini terjadi di dua TPS di Sungai Dama Samarinda Ilir.
Temuan lain, ada formulir C1 yang tidak terisi di Samarinda Ulu. Bahkan saat petugas KIPP ingin mendokumentasikan pelanggaran itu namun dihalangi oleh petugas PPK. Tak hanya itu, banyak petugas PPS yang tidak membuka data di TPS. Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memantau padahal rekapitulasi suara adalah informasi publik.
“Perbedaan data dari form C1 di tingakatan KPPS akan memperlambat proses penghitungan suara ke tahap selanjutnya jadi lambat. Padahal PPS wajib publikasikan rekapitulasi data itu. Hal itu jadi peluang perubahan data (potensi curang) di PPK,” ungkapnya.
Bahkan dalam proses rekapitulasi itu tidak terlihat transparansi penghitungan suara dan data rekapitulasi. Sehingga KIPP berencana akan melaporkan hal itu ke KPU dan Bawaslu Samarinda.
Kasus lain, ada saksi parpol di Samarinda Sebrang juga protes karena ada perbedaan data perolehan suara dari caleg tertentu ke caleg lain. Perubahan data itu, kata dia sebagai imbas dari tidak dibukanya data rekapitulasi di tingkat kelurahan dan TPS. (*)