Reporter: Eky- Editor: Redaksi
Insitekaltim,Jakarta – Berkembangnya wacana penundaan Pemilu 2024, patut disayangkan terjadi ketika Indonesia tengah memimpin G20, Kelompok 19 negara ekonomi terbesar di dunia plus Uni Eropa.
Orkestrasi penundaan Pemilu 2024,bagaikan deklasari kegagalan dan ketidakmampuan Indonesia menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri.
Sebagaimana disampaikan Teguh Santosa pakar komunikasi Internasional ketika berbicara di Dapur Kedai Kopi bertema “Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda”,Minggu (6/3/2022).
Teguh mengatakan, dirinya tidak menyangka ada pihak dari kalangan Istana yang membesarkan wacana pembatalan Pemilu 2024.
Tadinya kami mengira, pemerintah sedang fokus menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di depan mata. Misalnya dampak dari kenaikan harga minyak mentah hingga menyentuh kisaran 130 dolar AS per barel dalam beberapa hari belakangan ini.
Atau, kelangkaan minyak goreng yang terjadi di tengah keberlimpahan mengingat Indonesia adalah negara produsen palm oil terbesar kedua setelah Malaysia, selain itu kelangkaan kedelai dan memicu peningkatan harga tempe dan tahu. Dan kemungkinan adanya kenaikan harga gandum di pasar internasional yang dipicu invasi Rusia ke Ukraina.
“Seharusnya pemerintah fokus pada persoalan yang berkembang di masyarakat, daripada memunculkan lagi wacana penundaan Pemilu 2024,” kata Teguh Santosa yang juga dosen hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dia menambahkan, di tengah masyarakat sudah mulai berkembang, kekhawatiran situasi goro-goro akibat berbagai persoalan itu. Apalagi hampir dapat dipastikan belanja rumah tangga akan mengalami peningkatan pada bulan Ramadan dan Lebaran Idulfitri yang jatuh pada April dan Mei mendatang.
Selain Teguh, pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah pemerhati demokrasi Titi Anggraini, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said, budayawan Dedy Miing Gumelar, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Prof. Candra Fajri Ananda, dan analis komunikasi politik Hendri Satrio.
Dalam pemaparannya, mantan Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang kini menjabat Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) itu juga membandingkan Indonesia dengan Venezuela yang pada November 2021 lalu menggelar pemilihan umum.
Pemilihan umum di Venezuela November 2021, disebut mega-election karena diselenggarakan di seluruh negara bagian dan kota untuk memilih gubernur, walikota, anggota parlemen negara bagian, anggota parlemen kota, serta anggota electoral college.
Untuk membangun kepercayaan dunia internasional pada kualitas pemilu dan demokrasinya, Venezuela mengundang sekitar 300 pemantau pemilu Internasional dari berbagai negara. Teguh Santosa termasuk dalam daftar pemantau pemilu Internasional tersebut.
Sebelumnya, di Desember 2020 Venezuela juga menggelar pemilihan anggota Majelis Nasional. Namun dalam Pemilu 2020, Venezuela tidak mengundang pemantau pemilu Internasional karena kasus pandemi yang masih tinggi.
Di Mei 2018, Venezuela menggelar pemilihan presiden, dan melibatkan sekitar 150 pemantau pemilu Internasional dari berbagai negara. Teguh Santosa juga berpartisipasi dalam kegiatan itu.
Apa yang dilakukan Venezuela memperlihatkan bahwa negara itu sadar pemilihan umum berfungsi memberikan legitimasi dan pengakuan politik, baik dari dalam maupun luar negeri, kepada pihak-pihak yang dipilih untuk duduk di lembaga eksekutif dan legislatif.
Teguh Santosa menambahkan, negara tetangga Timor Leste juga tengah menggelar pemilihan presiden. Lalu di Juli 2022 Tunisia akan menggelar referandum, diikuti pemilihan presiden dan anggota parlemen pada Desember 2022.