Reporter: Emmi – Editor: Redaksi
Insitekaltim, Samarinda – Kasus sengeketa lahan yang melibatkan antara PT Sumbermas Meranti Indah Plywood dan Aji Alfian berlanjut ke Pengadilan Negeri (PN) Samarinda.
Pada Rabu, (20/4/2022) diagendakan sidang kelima di mana akan ada pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Ruang Wirjono Prodjodikoro, namun agenda tersebut tertunda dengan alasan keterlambatan dari pihak terdakwa.

Kuasa Hukum terdakwa (Aji Alfian) Paulinus Dugis mengatakan, penundaan sidang merupakan hal yang biasa, meskipun pihaknya sudah berada di lokasi.
“Tanpa konfirmasi kami dalam perjalanan bersama terdakwa ternyata sidang tertunda karena alasan keterlambatan. Memang biasa sidang siang, makanya kita bisa estimasi bahwa paling sidang di atas jam 13.00 Wita, tapi tidak apa-apa, penundaan sidang itu hal yang biasa,” ungkapnya dalam konferensi pers di Coment Center Media PN Samarinda, Rabu (20/4/2022).
Paulinus menjelaskan, usai mendengarkan keterangan dari saksi didapatkan informasi bahwa pelaporan hanya berdasarkan surat keterangan (SK). Di mana SK tersebut berdasarkan pada salah satu orang tua terdakwa yang menjual tanah bukan kepada PT Sumbermas Meranti Indah Plywood melainkan pada orang lain.
“Yang menjadi legal standing pelapor hanya berdasarkan surat keterangan. Itu yang dijadikan dasar, surat keterangan, jadi tidak ada Sertifikat Hak Milik (SHM), dan tidak ada juga yang namanya pelepasan hak,” jelasnya.
Ia pun menduga bahwa perkara tersebut sangat dipaksakan lantaran hanya berdasarkan SK saja, dan itu menjadikan seorang tersangka atau terdakwa di dalam persidangan.
“Itu yang menjadi pertanyaan, menurut kami perkara ini sangat dipaksakan. Memang terdakwa tidak ditahan, saya juga tidak tahu alasannya kenapa,” tuturnya.
Selain itu, menurut Paulinus mengapa perkara tersebut akan terus berlanjut disidangkan, sebab terdakwa sendiri sudah mengajukan gugatan secara perdata berdasarkan Nomor Registrasi 95 PDTG tahun 2022 di PN Samarinda tanggal 14 Maret.
“Namun di dalam persidangan ini tidak ada gugatan perdatanya terhadap kasus itu. Jadi sudah ada gugatan perdata oleh terdakwa dengan saudara-saudaranya. Harusnya kalau terdakwa itu disidangkan, terdakwa itu benar menjual. Tapi di sini tidak ada menjual tanah, dia menyewakan tanah (menyewakan lokasi) yang mana menurut lokasi tersebut, terdakwa masih menjadi milik orang tuanya,” terangnya.
Seharusnya terlebih dahulu adanya keputusan pengadilan (keputusan perdata), sehingga mengetahui yang berhak atas tanah tersebut.
“Keputusan perdatanya belum diputuskan sudah menetapkan tersangka dan disidangkan. Ini betul-betul sangat ironis. Secara legal standing tanah itu masih milik terdakwa dan saudara-saudaranya masih dikuasi oleh mereka, dan mereka masih bayar pajak lokasi itu,” urainya.
Lebih jauh, di dalam dakwaan JPU dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak dijelaskan bahwa tidak ada satupun alasan pelapor yang menyatakan tanah itu milik pelapor.
“Ini tidak ada, ini termuat dalam BAP loh dan tuntutan jaksa penuntut adalah terdakwa melakukan penyerobotan. Tapi apakah hanya berdasarkan petunjuk SK orang itu bisa ditetapkan tersangka,” ucapnya.
Bahkan adanya keterangan dari Pemerintah Kota Samarinda bahwa sepanjang sungai tersebut adalah jalur hijau. Akan tetapi disebutkan bahwa ketika mau ganti rugi maka masyarakat yang berada di lokasi tersebut harus direlokasi.
“Tapi tidak benar kalau itu diberikan kepada perusahaan atau perseroan terbatas. Masyarakat saja tidak boleh memiliki kok, masa perusahaan boleh. Apalagi sudah melaporkan menetapkan tersangka, tidak apa dia memiliki kalau punya SHM atau setidaknya dia punya segel. Ini hanya berdasarkan SK. Pertanyaan saya SK itu otentik atau tidak, itu yang menjadi maslaahnya,” urainya.
Selain itu SK diduga didapatkan dari orang tua terdakwa yang menjual, akan tetapi di sisi lain mereka mengakui bahwa itu tanah warisan.
“Nah kalau tanah warisan itu kan menyangkut kepada ahli waris, berarti harus ada tanda tangan ahli waris, ada istri anak dan sebagainya. Tidak boleh tinggal begitu saja, menjual segala macam,” pungkasnya.

Sementara itu, Legal Sumbermas Group Hery Indra, SH menyebutkan bahwa kasus pidana tersebut sudah jalan sejak 2018 lalu.
“Pihak PT Sumbermas yang melapor? Bukan siapa yang melapor, tapi proses antara pidana dan perdata mana yang didahulukan. Kalau proses pidana masuk tidak bisa menghambat perdata, kecuali perdata sudah sidang dan maju, kalau perdata ini kan masalah hak, jika dilaporkan secara pidana, jadi pidana nggak bisa masuk karena menunggu hak,” terangnya.
Namun lantaran pidana sudah sejak tahun 2018 dan sudah disidangkan dan dijadikan tersangka, perdata baru masuk dan itu menjadi pertimbangan majelis hakim kemarin eksepsinya ditolak.
“Pengacara sudah mengajukan eksepsi dengan membuktikan nomor perkara perdata,” bebernya.
Terkait persoalan lahan tersebut sebagai jalur hijau, kemudian adanya jual beli tanah, ia mengatakan bahwa hak pakai jalur hijau tidak boleh disertifikatkan.
“Dulu mereka kembali keputusan Mahkamah Agung (MA). Keputusan MA itu sebenarnya keputusan antara keluarga, rebutan antara nenek paman dari keturunan mereka. Tuntas MA, bapaknya Alfian menang dia dikuasakan keluarganya untuk mengurus surat-surat itu. Kemudian ada pemakaian ganti rugi di sana, orang lain yang pakai,” lanjutnya
“Karena PT Sumbermas mau pakai, maka ganti rugi bukan jual beli, karena jalur hijau nggak bisa disertifikatkan, jadi ada hak pakainya, ada perjanjian di situ ganti rugi, sudah sampai dua kali kalau nggak salah,” pungkasnya.
Tambahan informasi, lahan tersebut seluas 259 meter persegi yang berada di daerah Pasar Wisma Jalan Cipto Mangunkusumo Rt 18-19 Kelurahan Sengkotek, Loa Janan.
Aji Alfian merupakan ahli waris bersertifikat dari tanah seluas 259 meter persegi tersebut yang terbagi dari 40 meter dan 84 meter di bagian sebelah barat/laut jalan raya, dan 135 meter.