
Insitekaltim, Samarinda – Konflik agraria di Kalimantan Timur (Kaltim) terus mencuat sebagai persoalan serius, sekitar 70 persen aduan masyarakat ke Komisi I DPRD Kaltim berkaitan langsung dengan sengketa lahan antara warga dan perusahaan.
“Satu bidang tanah bisa diklaim lima sampai enam orang karena tidak memiliki sertifikat. Itu yang terjadi di banyak tempat,” ujar Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, saat ditemui di Kantor DPRD Kaltim, Senin 28 Juli 2025.
Permasalahan umumnya muncul akibat lemahnya status hukum tanah yang dikuasai warga secara turun-temurun tanpa dokumen resmi. Situasi ini membuka celah tumpang tindih klaim kepemilikan, terutama ketika lahan bersinggungan dengan proyek strategis nasional atau ekspansi perusahaan besar.
Tak hanya masyarakat, banyak aset milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, juga belum memiliki sertifikasi. Sekolah, kantor pelayanan, hingga lahan pertanian kerap digunakan tanpa legalitas yang memadai.
“Kita temui sekolah negeri yang berdiri sejak puluhan tahun, tapi belum punya sertifikat. Ini berisiko ketika terjadi klaim atau gugatan,” ujar Salehuddin.
Ia menyebut ketidakjelasan status hukum lahan tak hanya berpotensi merugikan warga, tetapi juga sering kali menghambat pelaksanaan pembangunan. Salah satu contoh yang disorot terjadi di Balikpapan, di mana proyek infrastruktur jalan tol terganggu karena sengketa lahan yang belum selesai.
“Tanah adalah aset ekonomi. Kalau statusnya tak pasti, masyarakat bisa kehilangan penghidupan, pembangunan pun jadi tersendat,” katanya.
DPRD Kaltim mendorong percepatan proses sertifikasi, baik untuk masyarakat maupun untuk pengamanan aset daerah. BPKAD dan OPD terkait seperti Dinas Pendidikan, Pertanian, hingga Perhubungan diminta segera menginventarisasi seluruh aset dan mengurus legalitasnya.
Di sisi lain, pelayanan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dinilai belum optimal. Masih banyak warga yang enggan mengurus sertifikat karena prosedurnya dianggap berbelit dan mahal.
“Warga sering takut atau bingung urus sertifikat karena tak ada pendampingan. Pemerintah semestinya hadir membantu, bukan menunggu,” ujarnya.
Sertifikasi lahan dipandang bukan sekadar urusan administratif, melainkan perlindungan terhadap hak-hak atas tanah yang sah. Tanpa perlindungan ini, konflik akan terus berulang dan memperdalam ketimpangan sosial.
Menurut Salehuddin, pendekatan yang legal, damai, dan berkeadilan perlu didorong. Keterlibatan aktif semua unsur, pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait—menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah agraria yang telah berlangsung bertahun-tahun.
“Kalau semua pihak punya semangat yang sama, konflik ini bisa diakhiri. Yang penting ada kemauan kolektif dan aksi nyata,” tutupnya.
Dengan eskalasi persoalan agraria yang semakin mengganas dan dampaknya terhadap hak warga serta agenda pembangunan daerah, DPRD Kaltim menilai percepatan sertifikasi lahan tak bisa ditunda lagi. Ini harus dijalankan secara menyeluruh, sistematis, dan berorientasi pada keadilan sosial.