Insitekaltim, Samarinda – Upaya pengendalian inflasi di Kalimantan Timur (Kaltim) sepanjang 2024 hingga Mei 2025 menunjukkan capaian positif. Laju inflasi tercatat sebesar 1,03 persen, lebih rendah dibanding inflasi nasional yang berada di angka 2,51 persen. Namun, capaian ini disertai catatan masih minim terobosan inovatif yang berkelanjutan.
Penilaian tersebut disampaikan dalam kegiatan Capacity Building Evaluasi Program Kerja Pengendalian Inflasi yang digelar di Ruang Rapat Derawan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Kamis 19 Juni 2025. Kegiatan ini diikuti oleh TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) dari tingkat provinsi dan seluruh kabupaten/kota se-Kaltim.
Staf Ahli Gubernur Kaltim Bidang III Arief Murdiyanto mengakui bahwa penurunan inflasi adalah hasil dari kerja bersama berbagai pihak. Namun, ia mengingatkan agar keberhasilan ini tidak membuat daerah puas dan berhenti berinovasi.
“Inflasi memang terkendali, tetapi kita belum menyentuh langkah-langkah luar biasa. Kita butuh lompatan inovasi terutama berbasis digital yang harus menjadi bagian dari strategi ke depan,” ujar Arief.
Stabilitas inflasi penting untuk menjaga daya beli masyarakat. Jika inflasi terlalu rendah, bisa jadi disebabkan oleh permintaan yang juga rendah, yang menandakan melemahnya konsumsi rumah tangga.
“Jangan sampai inflasi rendah ini jadi sinyal daya beli masyarakat sedang melemah. Ketika daya beli turun, distribusi barang terganggu, dan pada akhirnya memicu ketidakseimbangan pasokan,” katanya.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Kaltim adalah tingginya ketergantungan pada pasokan bahan pangan dari luar daerah. Komoditas strategis seperti beras, cabai, bawang merah, bawang putih, dan daging sapi sebagian besar masih didatangkan dari provinsi lain.
“Ini pekerjaan rumah kita semua. Kita harus mulai dari budidaya hingga ke hilir. Jangan hanya bisa menanam, tapi juga mampu memasarkan, mengelola stok, dan menciptakan rantai pasok yang efisien,” lanjut Arief.
Ia menyebut perlunya kerja sama antarwilayah, baik sebagai penghasil maupun penerima komoditas. Bahkan, skema tukar komoditas antar kabupaten juga layak dipertimbangkan.
“Di Kutai Timur, ada potensi besar dari pisang kepok. Di Berau, kita punya kakao. Ini bisa jadi komoditas unggulan yang ditukar dengan bahan pokok lain. Langkah seperti ini bisa menstabilkan pasokan di daerah-daerah terpencil seperti Mahakam Ulu,” jelasnya.
Arief juga menekankan perlunya orkestrasi dan fasilitasi dari tingkat provinsi agar pengendalian inflasi kabupaten/kota berjalan serempak. “Kalau semua kabupaten dan kota kuat, maka tingkat provinsi otomatis stabil. Tapi ini perlu kolaborasi dan pembinaan terus-menerus.”
Sementara itu, Prof Bustanul Arifin dari Universitas Lampung, yang hadir sebagai narasumber utama, menilai pengendalian inflasi Kaltim cukup berhasil. Namun menurutnya, keberhasilan ini belum didukung oleh strategi jangka panjang yang inovatif.
“TPID dan TPIP sudah bekerja dengan baik, tapi belum terlihat terobosan besar yang bisa diandalkan secara berkelanjutan. Masih terlalu administratif, belum transformatif,” kata Bustanul.
Ia menjelaskan, penyumbang utama inflasi Kaltim berasal dari makanan dan minuman, jasa penyediaan makanan, serta layanan pribadi. Oleh karena itu, solusi utamanya terletak pada ketersediaan suplai pangan yang stabil.
“Jika suplai cukup, harga terkendali. Maka produksi dan manajemen stok menjadi kunci utama. Ini bukan soal menambah volume saja, tapi bagaimana mengatur pola produksi agar tidak fluktuatif,” ujarnya.
Bustanul mendorong TPID Kaltim untuk mengadopsi teknologi dalam proses pertanian. Pertanian presisi dan smart farming dinilai dapat menjadi pilar utama pengendalian inflasi jangka panjang.
“Dengan pendekatan ini, petani bisa menanam sesuai kebutuhan pasar, waktu tanam yang tepat, serta pengelolaan input yang efisien. Tidak harus mahal. Bahkan sensor sederhana dan sistem informasi cuaca bisa membantu,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa strategi digital juga perlu menyasar pada sistem distribusi dan pencatatan stok. Menurutnya, data real-time dari pasar akan sangat membantu pengambilan keputusan cepat dan tepat.
“Digitalisasi tidak hanya soal aplikasi, tapi cara berpikir. Pemerintah daerah harus punya dashboard yang bisa memantau harga dan stok secara harian,” imbuhnya.
Diskusi ini menjadi momentum refleksi bersama bagi seluruh TPID di Kalimantan Timur. Evaluasi tidak hanya soal angka inflasi, tetapi juga sejauh mana daerah mampu mempersiapkan sistem yang berkelanjutan dan inovatif.
“Ke depan, jangan hanya puas dengan inflasi rendah. Kita harus pastikan sistem ini tahan banting, adaptif, dan membawa manfaat langsung ke masyarakat,” tutup Prof. Bustanul. (Adv/DiskominfoKaltim)
Editor: Sukri