Insitekaltim, Samarinda – Generasi Z atau Gen Z dinobatkan sebagai generasi paling konsumtif. Generasi yang lahir pada 1997-2012 ini, tidak menyandang gelar tersebut tanpa alasan.
Menurut survei Katadata Insight Center (KIC) dan Zigi pada 2022, Gen Z dinilai cukup konsumtif. Dalam survei tersebut, 72,9% pengeluaran Gen Z dialokasikan untuk kebutuhan komunikasi, 34,9% untuk belanja bahan makanan, dan 26,4% untuk fesyen dan aksesoris.
Budaya menabung seolah sirna. Tren YOLO atau You Only Live Once (hidup hanya satu kali) menjadi panutan generasi ini. Alhasil, “kalau bisa menikmati sekarang, kenapa harus nanti” pun tercipta sebagai mindset atau pola pikir Gen Z.
Dalam Podcast Suara Berkelas Episode 14 berjudul “Harusnya Mindset Keuangan Para Sandwich Generation Tuh Gini!”. Founder Finansialku.com sekaligus ahli bidang finansial Melvin Mumpuni menyebutkan beberapa faktor penyebabnya.
Pertama, hadirnya berbagai metode pembayaran yang memudahkan transaksi real time tanpa perlu capek-capek merogoh dompet atau mencari uang pas.
Mulai dari e-wallet, shopepay, paylater, debit, Qris, Dana, debit, Gopay, transfer dan masih banyak lagi. Kemudahan transaksi dimaksudkan untuk mempermudah pembayaran, tetapi membawa jalan untuk mudah menghambur-hamburkan uang sekaligus.
“Dulu hanya cash atau tarik tunai, atau seenggaknya debit. Sudah tiga opsi saja, sekarang? Sekarang tidak perlu bawa dompet, cuman bawa Hp saja sudah,” ulas Melvin.
Kedua, kebutuhan yang di-create (dibuat-buat). Dahulu, menurut Melvin, kebutuhan hanya sebatas sandang, papan, pangan. Sekarang ada istilah kebutuhan di-create. Ingin sebuah hiburan berupa nonton film, mendengarkan musik, mantengin idola lewat virtual, diperlukan tombol subscribe dan berbayar.
Lalu, ada kebutuhan ngopi. Bukan masalah apabila kopi adalah hidup. Hanya saja, Melvin menguraikan, anak muda tidak doyan dengan kopi sachet warungan atau kopi hitam yang sering dikonsumsi generasi sebelumnya, melainkan kopi gula aren ala-ala cafe.
“Standar sekarang itu berbeda. Standar untuk ada botol minum, standar makan siang, standar sepatu untuk lari, sepatu untuk jalan, semua ada standarnya,” jelasnya menyinggung terlalu banyaknya standar bagi Gen Z dalam keseharian yang bersifat tidak perlu.
Ada sebuah film dokumenter yang mengambil latar perang dunia II di Amerika Serikat. Melvin menceritakan ketika ada seorang tentara Amerika perang di luar Amerika, ia kehabisan bahan pangan, salah satunya daging.
Kebutuhan dalam negeri akan daging saat itu menipis. Untuk mengirim stok daging kepada tentara tersebut, pemerintah mengampanyekan gerakan makan jeroan. Jeroan sapi jauh lebih bagus ketimbang daging. Itu contoh kebutuhan yang di-create demi tujuan.
“Kebutuhan itu di-create. Kamu kalau termakan jargon-jargon yang di-create itu, maka ya bakal ngikut tren. Pertanyaan siapa yang create itu? Tadinya kita tidak ada kebutuhan itu. Yang dapat untung adalah dia yang meng-create,” ungkapnya.
Melvin menyarankan bahwa penghapusan standar atas sesuatu yang tidak ada urgensinya menjadi solusi. Tidak mudah termakan rayuan kebutuhan yang tidak perlu, juga keharusan. Menekan gaya hidup demi tujuan jangka panjang harus mulai ditanamkan dalam diri.