
Insitekaltim, Samarinda – Program bantuan pembiayaan kuliah Gratispol di Kalimantan Timur (Kaltim) belakangan menuai persepsi publik soal rumitnya syarat dan batasan penerima. Namun, Anggota DPRD Kaltim Darlis Pattalongi menilai program ini justru lebih simpel dan mudah dibanding beasiswa reguler.
“Kalau saya melihat, tidak ada syarat apa-apa sebenarnya. Karena yang berhubungan adalah pihak universitas dengan pemprov. Pemerintah provinsi akan mentransfer dana UKT langsung ke universitas, bukan ke mahasiswa secara perorangan,” ujar Darlis saat ditemui di Samarinda baru-baru ini.
Dibandingkan dengan beasiswa reguler yang memiliki proses administratif individu yang panjang, Program Gratispol justru lebih sederhana. Selama mahasiswa dinyatakan lolos di perguruan tinggi, maka Uang Kuliah Tunggal (UKT) mereka akan langsung dibayarkan oleh Pemprov Kaltim sesuai data resmi dari pihak universitas.
“Justru lebih mudah dari beasiswa. Kalau beasiswa itu kan urusan pribadi tiap mahasiswa. Kalau Gratispol, selama dia diterima di universitas dan datanya masuk, ya dibayarkan,” jelas Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim ini.
Terkait adanya batasan UKT maksimal sebesar Rp5 juta, Darlis menjelaskan hal tersebut merupakan bentuk penyesuaian anggaran di tahun pertama implementasi. Menurutnya, keterbatasan fiskal membuat skema ini baru menyasar mahasiswa semester awal dan dengan nominal terbatas.
“Tidak ada syarat harus kurang mampu. Kalau pembatasan UKT iya, karena APBD tahun ini sudah diketok sebelum Gubernur Rudy Mas’ud menjabat. Anggaran yang sekarang dipakai itu hasil refocusing dari beasiswa yang dialihkan ke UKT,” terang Darlis, yang juga anggota Badan Anggaran.
Ia meminta publik memahami konteks fiskal dan transisi pemerintahan. Menurutnya, implementasi Gratispol tahun 2025 adalah bentuk optimalisasi dari anggaran yang tersedia, dan diharapkan bisa berkembang lebih luas pada tahun 2026 mendatang.
“Kalau mau jujur, sebenarnya Gratispol baru bisa berjalan penuh di 2026, karena itu nanti disusun dengan APBD masa kepemimpinan gubernur sekarang,” jelasnya.
Mengenai regulasi, Darlis menyebut bahwa saat ini Gratispol masih berlandaskan peraturan gubernur (pergub). Namun DPRD mendorong agar ke depan skema ini diatur lebih kuat dalam bentuk peraturan daerah (perda).
“Kita dorong agar pergub itu bisa ditingkatkan jadi perda. Supaya dasar hukumnya lebih kuat dan implementasinya lebih luas,” ujar penasihat Fraksi PAN–NasDem itu.
Darlis juga menyinggung persoalan kewenangan yang menjadi tantangan tersendiri. Karena penerima bantuan pendidikan adalah mahasiswa perguruan tinggi di bawah kementerian pusat, maka penyaluran anggaran daerah harus disesuaikan dengan regulasi pemerintah pusat.
“Kalau bantuan untuk SMA atau SMK gampang, karena itu kewenangan provinsi. Tapi ini mahasiswa, lembaganya di bawah kementerian, maka harus ada sinkronisasi aturan. Itu sebabnya kita pakai istilah bantuan pendidikan, bukan hibah atau Gratispol,” urainya.
Ia menambahkan, penggunaan nomenklatur “bantuan pendidikan” juga disesuaikan dengan ketentuan Kementerian Dalam Negeri, agar tidak menimbulkan persoalan tata kelola anggaran.
“Mudah-mudahan tahun depan kita bisa atur lebih rapi dan luas, termasuk limit UKT yang dibayarkan bisa naik. Kami di DPRD siap mendorong agar program ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” pungkasnya.