
Insitekaltim, Samarinda – Akses pendidikan menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) kembali menjadi sorotan. Keterbatasan daya jangkau siswa terhadap sekolah negeri menjadi persoalan klasik yang hingga kini belum sepenuhnya terpecahkan.
Di tengah situasi itu, Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Sarkowi V Zahry, mengusulkan sebuah pendekatan inovatif yakni pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Terbuka sebagai alternatif solusi.
Dalam keterangannya pada Selasa, 10 Juni 2025, Sarkowi menilai, meskipun secara kuantitatif Kukar, khususnya wilayah Tenggarong, masih memiliki ruang daya tampung bagi siswa, namun kenyataannya banyak anak didik yang tidak tertampung sesuai pilihan mereka, utamanya di sekolah negeri.
“Kalau di Kukar, terutama di wilayah Tenggarong, sebenarnya dari sisi daya tampung masih ada sisa. Tercatat ada selisih sekitar 703 murid dari total daya tampung sekolah,” kata Sarkowi.
Namun demikian, ia menekankan bahwa tantangan utama bukan sekadar soal kapasitas, melainkan preferensi masyarakat terhadap sekolah negeri. Menurut dia, pilihan masyarakat itu didorong oleh pertimbangan praktis: fasilitas yang dianggap lebih lengkap dan biaya pendidikan yang lebih bersahabat.
“Tapi persoalannya adalah minat masyarakat yang tinggi terhadap sekolah negeri,” tuturnya.
Sarkowi menjelaskan, banyak orang tua enggan menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta, meskipun kualitasnya diakui baik. Biaya yang lebih tinggi menjadi penghalang utama.
“Swasta unggulan memang bagus, tapi biayanya juga tidak sedikit. Itu yang menjadi pertimbangan masyarakat. Tapi jika semua ingin ke sekolah negeri, bagaimana dengan sekolah swasta? Mereka juga tidak boleh sampai kekurangan siswa,” katanya.
Ia menyoroti pentingnya merancang kebijakan pendidikan yang tidak hanya adil, tetapi juga adaptif terhadap kondisi geografis Kukar yang luas dan tersebar. Pendekatan satu solusi untuk semua wilayah, menurutnya, tidak lagi relevan.
Dalam konteks pembangunan unit sekolah baru, Sarkowi menggarisbawahi persoalan klasik yang terus membayangi, yakni urusan pembebasan lahan. Ia menyebut proses ini kerap berbelit dan memakan waktu lama, yang pada akhirnya memperlambat pelaksanaan pembangunan sekolah.
“Persoalannya juga ada di tanah. Kalau kita ingin bangun sekolah, pembebasan lahannya itu berat dan makan waktu. Di Mangkurawang, misalnya, tidak ada tanah hibah, jadi akhirnya dipilih lokasi di Loa Tebu,” jelasnya.
Unit sekolah baru yang dibangun di Loa Tebu, menurut Sarkowi, mulai menunjukkan hasil. Dua rombongan belajar (rombel) dari masyarakat lokal telah tertampung di sekolah tersebut. Namun tetap saja, tidak semua persoalan selesai begitu saja. Ada siswa yang gagal diterima di tahun ajaran sebelumnya dan harus menunggu tahun berikutnya hanya karena ketiadaan akses ke sekolah yang diinginkan.
Situasi inilah yang memicu munculnya ide pembangunan SMA Terbuka. Model pendidikan ini dinilai bisa menjawab kebutuhan masyarakat di wilayah-wilayah tertentu, khususnya mereka yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka secara penuh karena kendala jarak dan ekonomi.
“Saya lihat ini menjadi kasus umum, makanya kita pikirkan SMA Terbuka sebagai bentuk inovasi. Memang belum ada regulasinya, tapi kalau memungkinkan tentu akan sangat membantu,” ujarnya.
Lebih jauh, Sekretaris Partai Golkar itu menjelaskan bahwa model SMA Terbuka akan sangat relevan diterapkan di wilayah dengan karakteristik sosial-ekonomi tertentu. Banyak siswa yang terpaksa bekerja membantu orang tua mereka, seperti menjadi nelayan atau buruh harian, sehingga sulit mengikuti ritme pendidikan formal secara penuh.
Ia menambahkan bahwa jika jarak sekolah terlalu jauh, biaya transportasi saja bisa melebihi kebutuhan hidup para siswa, sehingga menurutnya perlu ada solusi nyata yang dihadirkan.
Sarkowi menilai bahwa solusi pendidikan semacam ini hanya bisa terwujud jika ada kolaborasi yang kuat lintas sektor.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten untuk bersinergi dalam menyusun kebijakan yang akomodatif, serta mengajak para tokoh masyarakat untuk terlibat aktif, terutama dalam penyediaan lahan melalui skema hibah.
Langkah semacam ini, menurutnya, akan mempercepat pembangunan sekolah tanpa harus tersandung oleh kerumitan administrasi dan legalitas lahan. (Adv)