Reporter: Ririn Yulianingsih–Editor : Redaksi
Insitekaltim,Jakarta-Langit biru Indonesia hanya sepenggal kisah. Hamparan udara bersih semakin sulit diraih. Tak perlu mengemis, meski negara belum lagi menggubris. Polusi udara dari emisi gas buang, baik yang bergerak (kendaraan bermotor) maupun tidak bergerak (industri) masih terus mengancam Indonesia.
Sementara negara sepertinya belum menemukan jurus ampuh untuk menghentikan masifnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) tidak ramah lingkungan.

Pengamat ekonomi Faisal Basri menuturkan, sesungguhnya Pertamina sebagai BUMN yang ditunjuk menjadi penyedia BBM sudah siap melepaskan lebih banyak BBM ramah lingkungan dan perlahan mengosongkan BBM tidak ramah lingkungan dari tangki-tangki timbun mereka.
“Kalau saya lihat, Pertamina sebenarnya mau bicara, tapi tidak bisa karena menyentuh kementerian lain,” kata Faisal Basri saat menjadi narasumber pada Talkshow dan Dialog Publik bertajuk Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru yang dilakukan secara virtual melalui zoom meeting, Kamis (18/3/2021).
Diskusi publik sesi ke-4 ini merupakan kerja bareng Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama Kantor Berita Radio (KBR).
Keinginan Pertamina untuk mengurangi distribusi BBM tidak ramah lingkungan kurang berjalan mulus. Sebab di dalam negara ada komponen dan kepentingan lain. Di bagian hulu ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di tengah ada Kementerian Perindustrian, sedangkan di hilir sudah menunggu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Jadi, sebenarnya Pertamina sudah berkomitmen untuk ‘membunuh’ premium, namun pemerintahnya bergeming,” kritik Faisal Basri.
Tarik ulur di antara kementerian menyebabkan Program Langit Biru yang sudah dicanangkan sejak 25 tahun silam itu pun tak kunjung jadi kenyataan.
“Padahal inilah momen yang paling bagus untuk ‘membunuh’ premium, di tengah pandemi. Kita perlu bertransformasi di segala bidang kehidupan, termasuk transformasi BBM dari yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan,” tegas pengamat ekonomi nasional yang dikenal dengan kritik tajamnya itu.
Hingga saat ini tingkat konsumsi BBM jenis premium (RON 88) dan pertalite (RON 90) tercatat masih paling tinggi di Indonesia. Faisal Basri menyebut harga murah menjadi alasan utama masyarakat memilih menggunakan premium. Atau pertalite, jika tak menemukan premium. Sepanjang Pertamina masih menyediakan premium, maka masyarakat akan tetap memilih premium, karena dianggap lebih hemat. Akibatnya akan sangat sulit berharap masyarakat mau melakukan penggantian konsumsi bahan bakar dari yang tidak ramah lingkungan ke BBM ramah lingkungan.
“Umumnya berlaku hukum permintaan. Jadi, semakin murah suatu barang, semakin banyak dibeli oleh masyarakat. Jadi, mau tidak mau, memang harga yang paling utama. Kedua, baru yang lain-lain,” beber Faisal.
Meski begitu, Faisal optimis secara gradual masyarakat (konsumen) akan menyesuaikan diri untuk menggunakan BBM ramah lingkungan, bila edukasi diberikan secara terus-menerus kepada masyarakat, salah satunya melalui kerja sama YLKI dan KBR ini.
BBM yang ramah lingkungan memiliki minimal research octane number (RON) 91. Disadur dari website resmi Kementerian ESDM, terkait BBM ramah lingkungan telah diterbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.20 Tahun 2017, di mana sesuai Permen LHK tersebut, kendaraan bermotor yang sedang diproduksi wajib memenuhi baku mutu emisi gas buang paling lambat pada bulan Oktober 2018 untuk kendaraan berbahan bakar bensin, dengan spesifikasi BBM yang dipersyaratkan yaitu nilai RON minimal 91 dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.
Selanjutnya, pada April 2021 untuk kendaraan berbahan bakar solar. Spesifikasi BBM yang dipersyaratkan yaitu nilai cetane number minimal 51 dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.
Di Indonesia sendiri, khususnya di Pertamina, premium mempunyai RON 88, pertalite RON 90, pertamax RON 92, dan pertamax turbo mempunyai RON 98. Produsen lain, Shell mempunyai produk bernama super dengan RON 92 dan V-Power dengan RON 95. Sementara pihak Total menjual BBM dengan RON 92 dan 95. Jadi premium dan pertalite termasuk ke dalam golongan BBM yang tidak ramah lingkungan.
Program Langit Biru pertama kali dicanangkan pada tahun 1996 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996 (KEP-15/MENLH/4/1996).
Inti program ini bertujuan untuk membuat langit Indonesia menjadi biru dengan cara mengendalikan dan mencegah pencemaran udara, serta mewujudkan perilaku sadar lingkungan. Salah satunya dengan menggunakan BBM ramah lingkungan.
Dilansir dari otomotif.kompas.com, penerapan standar emisi sudah selayaknya diikuti dengan peningkatan kualitas BBM. Contohnya Euro I mengharuskan mesin menggunakan bensin tanpa timbal. Euro II untuk mobil diesel harus menggunakan solar dengan kadar sulfur di bawah 500 ppm. Makin tinggi standarnya makin butuh BBM berkualitas.
Itulah alasan mengapa di Indonesia masih ada tarik ulur antara kebutuhan mesin ramah lingkungan dengan ketersediaan bahan bakar berkualitas, sehingga draft penerapan standar emisi Euro IV yang dirancang sejak 2012, baru terlaksana awal tahun 2018.
Saat ini, Pertamina sudah menyatakan siap mendukung aturan emisi standar Euro IV. Agar penerapan standar emisi ini lebih maksimal, minimal mobil harus menggunakan BBM RON 92.
“Untuk mengganti bahan bakar ramah lingkungan, diperlukan teknologi yang mumpuni. Sedangkan pemerintah belum bisa memenuhi ekspektasi tersebut,“ kata Deny Djukardi, PSO Fuel Retail Marketing Manager PT Pertamina.
Lebih jauh dijelaskan Pertamina sudah melakukan beberapa program seperti diskon pembelian pertamax melalui aplikasi My Pertamina dan melakukan berbagai promo atau cashback lainnya. Milenial dan para influencer juga turut mengedukasi netizen. Namun menurutnya, upaya YLKI, media dan Pertamina tidak akan cukup. Perlu dukungan kuat pemerintah untuk mendorong edukasi BBM ramah lingkungan ini lebih meluas dan benar-benar mampu menyentuh ‘hati’ masyarakat.
Narasumber lain dalam diskusi publik tersebut, Sudaryatmo dari YLKI menjelaskan pentingnya masyarakat memahami informasi dari produk otomotif dan BBM.
“Konsumen harus lebih aktif mengajukan pertanyaan. Sementara untuk produsen atau industri otomotif, transparansi produk juga tak boleh diabaikan,” pesan Sudaryatmo.
Spesifikasi BBM semestinya dideskripsikan lebih detail oleh para petugas Pertamina di SPBU-SPBU untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Misalnya mengapa harus menggunakan BBM dengan kualitas minimal RON 92.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago menguraikan, ketika emisi BBM diperketat, maka diperlukan peningkatan teknologi. Berikutnya harus ada kesinambungan antara sektor hulu dan hilirnya.
Regulasi mengarahkan BBM ramah lingkungan jenis A, tapi ketika masih ada BBM yang belum sesuai dengan regulasi, masyarakat pasti akan membeli yang termurah.
“Masyarakat tak bisa disalahkan karena mereka cenderung akan memilih BBM yang lebih murah. Mereka belum mempertimbangkan biaya perawatan atau maintenance mesin kendaraan mereka di kemudian hari,” tukas Dasrul Chaniago.
Sementara Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi masih melihat fakta inkonsistensi pemerintah terkait implementasi Program Langit Biru. Karena itulah YLKI berupaya terus menggencarkan berbagai program untuk menagih janji pemerintah dalam konsistensi dan komitmen mewujudkan Program Langit Biru tersebut.
“Tahun 2017 kita ingat waktu itu di Pulau Jawa, Bali, dan Madura penggunaan premium sudah dikendalikan secara ketat,” sindir Tulus Abadi.
Namun sayangnya, pada 2018 karena alasan menjelang mudik lebaran premium diadakan lagi.
“Padahal waktunya berdekatan dengan pemilu (momen politik). Akhirnya premium diadakan lagi sampai sekarang dan itu terjadi di seluruh Indonesia,” keluh Tulus Abadi.
Dia melihat, jika isu BBM masih diseret ke ranah politik kekuasaan, maka selamanya Program Langit Biru hanya akan jadi angan dan program.
Meski demikian, YLKI tegas Tulus akan terus mengedukasi masyarakat. Mengapa harus segera meninggalkan BBM tidak ramah lingkungan dan menggantinya dengan BBM ramah lingkungan.
Sebab tanpa disadari kata Tulus, ketika masyarakat menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan, maka saat itu pula konsumen sudah mengalami dua kali kerugian. Kerugian pertama, jarak tempuh kendaraan yang lebih pendek dan kedua konsumen harus mengeluarkan rupiah yang lebih banyak untuk melakukan perawatan mesin kendaraan.
Tulus pun memberi perbandingan. Menggunakan satu liter premium konsumen bisa menempuh perjalanan sekitar 30 km, padahal dengan jumlah liter yang sama, konsumen bisa menempuh 50 km menggunakan pertamax.
“Belum banyak masyarakat yang sadar perbandingan ekonomis ini. Yang kita tahu adalah harga premium dan pertalite lebih irit di kantong, apalagi untuk kalangan mahasiswa dan masyarakat kelas menengah ke bawah,” sebut Tulus.
Padahal, faktanya memang lebih irit di awal, tetapi pada akhirnya, konsumen harus merogoh kocek lebih untuk biaya perawatan dan pengisian ulang BBM karena cepat habis.
Pemerintah nampaknya harus kembali menunjukkan niat baik untuk Program Langit Biru dengan menelurkan kebijakan pro BBM ramah lingkungan dan terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat hingga benar-benar memahami, mengapa harus menggunakan BBM ramah lingkungan.
“BBM ramah lingkungan melindungi kesehatan masyarakat dari polusi udara, sekaligus mencegah pemborosan APBN untuk subsidi BBM tidak ramah lingkungan dan BPJS Kesehatan karena sakit akibat polusi udara. Masyarakat juga terlindungi dari biaya tinggi akibat kerusakan kendaraan bermotor karena penggunaan BBM tidak ramah lingkungan,” tutup Tulus.
Diskusi publik juga diikuti para influencer, organisasi perangkat daerah (OPD) dari sejumlah daerah, blogger, jurnalis, mahasiswa serta para Kapolres dari Kota Makassar, Jayapura, Manokwari, Mataram, Bangka Tengah, dan Mempawah.