
Insitekaltim, Samarinda – Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) menyoroti secara tajam ketimpangan daya tampung satuan pendidikan menengah atas wilayah Kaltim.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur yang digelar pada Selasa, 10 Juni 2025, Komisi IV menyampaikan desakan kepada Pemerintah Provinsi Kaltim untuk segera menambah jumlah ruang belajar (rombel) dan membangun sekolah baru tingkat SMA dan SMK, sebagai upaya strategis menanggulangi persoalan klasik dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau SPMB tahun ajaran 2025/2026.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menyatakan bahwa rasio antara peserta didik dan ruang belajar di sekolah negeri telah melampaui batas ideal yang disyaratkan pemerintah pusat. Kondisi ini, menurutnya, bukan sekadar mengganggu kenyamanan belajar, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
“Pembelajaran itu dipersyaratkan maksimal 36 siswa per rombel. Tapi kenyataannya, dengan jumlah lulusan SMP saat ini, banyak rombel bisa mencapai 50 siswa kalau dipaksakan masuk semua ke negeri. Ini tidak sehat untuk kualitas pendidikan,” ujar Darlis dalam forum tersebut.
Ia menjelaskan bahwa meskipun pemerintah provinsi telah menargetkan daya tampung SPMB hingga 30.000 siswa pada tahun ini, angka tersebut belum mencukupi kebutuhan riil di lapangan. Kota Samarinda menjadi contoh konkret dari ketidakseimbangan ini. Setiap tahun, jumlah lulusan SMP yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA/SMK negeri terus meningkat, sementara kapasitas sekolah nyaris stagnan.
Menurut Darlis, menambah rombel di sekolah yang sudah ada tidak lagi cukup menjawab lonjakan permintaan. Pembangunan unit sekolah baru harus menjadi kebijakan prioritas, terutama di kawasan yang selama ini mengalami kelebihan tekanan daya tampung.
“Permintaan masyarakat untuk masuk sekolah negeri tinggi karena kualitas dan biaya yang relatif terjangkau. Tapi kalau kapasitasnya tidak ditambah, tekanan ini hanya akan terus berulang,” tegasnya.
Selain menyoroti beban di kota besar, Darlis juga mengangkat persoalan pendidikan di wilayah-wilayah terpencil. Ia mengungkapkan bahwa masih banyak desa di Kalimantan Timur yang tidak memiliki sekolah menengah atas karena jumlah lulusan SMP belum memenuhi syarat pembentukan satuan pendidikan baru.
“Kalau di satu desa hanya ada belasan lulusan SMP, jelas tidak cukup untuk membentuk rombel penuh. Tapi mereka tetap harus punya akses pendidikan. Pemerintah bisa mengambil kebijakan internal seperti pembelajaran jarak dekat dengan sekolah induk, tanpa harus membuka sekolah filial secara formal,” jelasnya.
Gagasan tersebut, lanjut Darlis, merupakan respons atas tantangan geografis yang menjadi ciri khas wilayah Kalimantan Timur. Jarak tempuh antarwilayah yang jauh, minimnya akses transportasi publik, dan beban biaya yang tinggi kerap menjadi penghalang bagi siswa desa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Kalau dibandingkan, biaya transportasi itu seringkali lebih tinggi dari kebutuhan harian mereka. Jadi lebih efisien jika difasilitasi belajar dari lokasi mereka, tapi tetap di bawah sekolah induk yang sudah ada,” lanjutnya.
Di sisi lain, Darlis mengapresiasi mekanisme seleksi SPMB saat ini yang menggunakan sistem empat jalur penerimaan, yakni zonasi (domisili) 30 persen, prestasi 30 persen, afirmasi 30 persen, dan mutasi 5 persen. Menurutnya, sistem ini memberikan ruang persaingan yang lebih adil dibanding zonasi murni yang diterapkan sebelumnya.
“Dengan adanya jalur afirmasi dan prestasi, tidak perlu lagi ada akal-akalan pindah KK. Jalur afirmasi bisa dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga tidak mampu, dan itu jauh lebih bijak daripada memanipulasi data,” sebut Darlis.
Ia menegaskan bahwa perhatian Komisi IV tidak berhenti pada aspek kuantitas, melainkan juga mencakup peningkatan mutu pendidikan. Pemprov Kaltim diminta untuk tidak hanya mengejar jumlah rombel, tetapi juga memastikan tersedianya tenaga pendidik yang memadai, sarana pembelajaran yang representatif, serta kualitas proses belajar yang menjawab tantangan zaman.
“Kalau kualitas sekolah negeri meningkat, otomatis output lulusannya juga akan meningkat. Jadi bukan hanya tentang banyak-banyakan murid, tapi bagaimana mencetak lulusan yang berkualitas,” pungkasnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Pelaksana Tugas Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, memastikan bahwa kendala daya tampung, keterbatasan ekonomi, dan hambatan geografis bukan alasan untuk memutus akses pendidikan bagi generasi muda di Bumi Etam.