
Insitekaltim, Samarinda – Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, media sosial dihebohkan dengan fenomena pengibaran bendera One Piece atau Jolly Roger, simbol bajak laut dari serial anime asal Jepang karya Eiichiro Oda, di sejumlah rumah dan kendaraan.
Bendera bergambar tengkorak dan tulang bersilang itu digunakan sebagian masyarakat sebagai ekspresi kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, sekaligus bentuk protes terhadap kondisi sosial dan politik saat ini. Fenomena ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) Ananda Emira Moeis menilai semangat kemerdekaan seharusnya diwujudkan dengan mengibarkan bendera merah putih, bukan simbol lain.
“Kita tetap Bendera Merah Putih lah, harus pasang itu tinggi-tinggi, karena bagaimanapun Indonesia Raya,” ujar Ananda usai Rapat Paripurna pada Jumat 8 Agustus 2025.
Ananda mengaku tidak mengikuti kisah One Piece sehingga tidak memahami secara detail maksud simbol yang digunakan para penggemarnya.
“Saya nggak nonton One Piece, zaman saya nontonnya Kamen Rider Black RX, jadi kalau ditanya One Piece saya nggak tahu,” ucap politisi PDIP itu.
Meski begitu, ia mengajak masyarakat memanfaatkan momen bulan kemerdekaan untuk memperkuat rasa cinta tanah air dan berkontribusi positif.
“Kita lihat negara kita seperti ini, ya kita harus turut serta membangun, minimal memberikan kontribusi yang positif. Biarpun kecil-kecil, dengan jumlah penduduk Indonesia 286.693.693 jiwa sedikit-sedikit positif, bakal besar energi positifnya untuk Indonesia Raya,” tuturnya.
Menurut Ananda, pemasangan bendera merah putih sejak 1 hingga 30 Agustus adalah bentuk nyata penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan.
“Yang penting tetap bendera merah putih itu dipasang dari tanggal 1–30 Agustus,” ujarnya.
Fenomena bendera One Piece ini sebelumnya ramai dibicarakan di berbagai platform media sosial. Sebagian warganet menilai pengibaran bendera tersebut adalah simbol perlawanan yang kreatif, sementara yang lain menganggapnya tidak tepat dilakukan di bulan kemerdekaan.
Ananda menilai, meski ekspresi politik dan sosial merupakan hak warga negara, bulan Agustus sebaiknya menjadi momentum menyatukan energi positif untuk bangsa, bukan menggantikannya dengan simbol yang bisa mengaburkan makna perjuangan kemerdekaan.
“Kalau energi positif dikumpulkan bersama, dampaknya akan besar untuk kemajuan negara,” tandasnya.