Insitekaltim, Samarinda – Dibangun sejak 1881, Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya saksi sejarah Islam di Kalimantan Timur (Kaltim), tapi juga rumah bagi naskah suci berusia ratusan tahun.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa keaslian struktur masjid dan mushaf kuno di dalamnya harus dijaga dan dirawat dengan cermat.

Ia menilai kondisi fisik masjid masih cukup terawat meski menggunakan material kayu ulin sepenuhnya. Namun, ia mengingatkan bahwa upaya perawatan tetap harus dilakukan secara berkala agar fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan warisan budaya tetap terjaga.
“Kondisinya baik dan cukup dirawat. Tinggal sarana dan prasarana sekitar yang akan kita bantu,” tuturnya kepada awak media, Jumat, 30 Mei 2025.
Fadli juga menegaskan bahwa proses revitalisasi tidak boleh mengubah bentuk asli bangunan. Keaslian dan bahan material yang digunakan harus dijaga semaksimal mungkin agar nilai sejarah tidak hilang.
“Renovasi atau revitalisasi dari sebuah cagar budaya itu harus mementingkan keaslian dan menjaga bahan-bahan itu sebisa mungkin. Kecuali memang sudah perlu diganti dan tidak ada bahan yang sama,” jelasnya.
Ia juga menyoroti adanya mushaf Al-Quran kuno yang diperkirakan ditulis pada abad ke-17.
Menurutnya, naskah itu perlu dikonservasi menggunakan metode yang sesuai standar, mengingat kerentanannya terhadap cuaca dan kerusakan biologis.
“Quran yang ditulis sekitar tahun 1700-an itu sebetulnya bisa dikonservasi. Namun tentu ada metodologinya dan harus dilakukan dengan standar yang seharusnya, sehingga tidak lapuk,” ungkap Fadli, seraya mendorong proses digitalisasi sebagai langkah pelestarian.
Sementara itu, pengurus masjid Ishak Ismail menjelaskan bahwa revitalisasi yang dilakukan pada tahun 2024 lalu hanya menyentuh area halaman dan sekretariat, mengingat bangunan utama berada dalam zona cagar budaya yang dilindungi.
“Masjid ini merupakan zona cagar budaya, jadi tidak boleh diganggu. Yang bisa dilaksanakan revitalisasi hanya di halaman saja dan kantor-kantor sekretariat di lingkungan masjid ini,” ujar Ishak.
Usai dari masjid, Fadli Zon melanjutkan kunjungannya ke makam La Mohang Daeng Mangkona, tokoh penting dalam sejarah pendirian Kota Samarinda. Makam tersebut terletak tidak jauh dari masjid dan menjadi bagian dari warisan budaya yang tak terpisahkan dari kawasan Samarinda Seberang.
La Mohang Daeng Mangkona adalah pemimpin rombongan Bugis dari Wajo yang mendirikan permukiman pertama di Tanah Sama Rendah pada tahun 1668, cikal bakal Kota Samarinda. Ia dan pengikutnya menolak tunduk pada kolonial Belanda setelah Perjanjian Bongaya, lalu mendapat izin dari Sultan Kutai untuk membuka permukiman di tepian Sungai Mahakam. Wilayah itu kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan, serta diberi nama “Sama Rendah” yang melambangkan kesetaraan derajat antarwarga. Nama itu kelak berubah ejaan menjadi “Samarinda”.