Insitekaltim, Samarinda – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus menjadi perhatian utama Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kalimantan Timur.
Sebagai bentuk respons terhadap tingginya angka kekerasan yang tercatat sebanyak 810 kasus hingga Oktober 2024, DKP3A Kaltim bersama Forkopimda dan pemerintah kabupaten/kota di Kaltim mendeklarasikan stop kekerasan terhadap perempuan dan Anak.
Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita menegaskan pentingnya langkah kolaboratif untuk menurunkan angka kekerasan yang terus meningkat.
Noryani menyampaikan bahwa deklarasi ini merupakan langkah penting untuk menyatukan visi dan misi semua pihak, termasuk pemerintah kabupaten/kota dan stakeholder lainnya.
“Komitmen yang ditandatangani bersama diharapkan menjadi arah dalam upaya penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur,” ujar di Pendopo Odah Etam, Komplek Kantor Gubernur Kaltim, Selasa (3/12/2024).
Ia juga mengakui bahwa upaya pencegahan selama ini masih kurang optimal. “Selama ini kita cenderung hanya menangani kasus setelah terjadi kekerasan, tanpa memetakan akar masalahnya. Langkah berikutnya adalah melakukan identifikasi mendalam terhadap penyebab kekerasan agar kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran,” jelasnya.
Menurut Noryani, tingginya angka kekerasan yang tercatat juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus. Hal ini didukung oleh keberadaan kanal pelaporan seperti hotline Sapa 129 dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Laporan yang meningkat menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih berani untuk speak up. Samarinda, misalnya, memiliki akses pelaporan yang lebih mudah dibandingkan kabupaten lain, sehingga kasus terlihat lebih banyak,” ungkapnya.
Dari Januari hingga November 2024, DKP3A melalui UPTD PPPA telah menangani 88 kasus kekerasan, baik dari laporan langsung maupun hotline. “Sapa 129 sangat membantu kami dalam mendeteksi kasus kekerasan di masyarakat. Semua laporan telah tertangani dengan baik,” tambahnya.
Dalam upaya penurunan angka kekerasan, DKP3A juga gencar melakukan sosialisasi dan edukasi terkait bentuk-bentuk kekerasan yang sering tidak disadari masyarakat.
“Pemaksaan pernikahan, misalnya, kini masuk dalam kategori kekerasan seksual sesuai dengan Undang-Undang TPKS. Dulu hal ini dianggap biasa, tetapi sekarang masyarakat mulai memahami bahwa itu tidak boleh terjadi,” jelas Noryani.
Ia juga mengajak media massa untuk turut membantu menyebarluaskan informasi ini. “Peran media sangat penting dalam mengedukasi masyarakat agar semakin banyak yang paham hak-hak mereka,” katanya.
DKP3A mendorong pembentukan pentahelix, yakni kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, media massa, akademisi dan sektor swasta, untuk mengoptimalkan penanganan kekerasan.
“Pendekatan ini sesuai dengan arahan Pj Gubernur agar seluruh stakeholder bekerja sama secara sinergis. Tidak bisa DKP3A bekerja sendiri dalam menyelesaikan masalah ini,” tegas Noryani.
Dengan langkah-langkah yang lebih terencana dan kolaboratif, DKP3A berharap dapat menekan angka kekerasan di Kalimantan Timur.
“Kami berharap komitmen ini menjadi rujukan bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Semua pihak harus bekerja sama untuk mewujudkan ini,” tutup Noryani.