
Insitekaltim, Samarinda – Banjir yang melanda Kabupaten Berau pada Mei 2025 tak bisa lagi semata-mata disalahkan pada cuaca ekstrem. Derasnya air yang merendam 17 kampung di empat kecamatan dinilai sebagai akibat langsung dari lemahnya pengawasan serta buruknya tata kelola pertambangan di wilayah tersebut.
Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Syarifatul Sya’diah. Ia menilai bencana banjir ini merupakan akumulasi dari kerusakan lingkungan yang terus terjadi tanpa kontrol yang ketat, terutama pada kawasan hulu yang menjadi lokasi aktivitas tambang.
“Kalau kami melihat, ini fenomena alam yang penyebabnya bermacam-macam. Salah satunya curah hujan tinggi di daerah hulu, dan juga faktor tambang ilegal. Tambang yang legal pun barangkali ikut menyumbang,” ujar Syarifatul kepada wartawan di Samarinda, Senin, 26 Mei 2025.
Menurutnya, banjir kali ini bukanlah kejadian biasa, melainkan peringatan serius akan ketidaksiapan struktur lingkungan menghadapi tekanan dari aktivitas industri, terutama pertambangan.
Ia menyebut, tambang-tambang yang beroperasi tanpa reklamasi yang baik telah menyebabkan air hujan mengalir deras tanpa hambatan ke daerah hilir, mempercepat terjadinya luapan air dan merendam permukiman.
“Tambang-tambang itu harus dievaluasi lagi agar tidak menyebabkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Ini jadi tugas penting Pemprov Kaltim karena kewenangan tambang ada di provinsi,” katanya lagi.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Berau mencatat hingga pertengahan Mei 2025, sebanyak 17 kampung di Kecamatan Sambaliung, Segah, Kelay, dan Teluk Bayur terdampak banjir. Sedikitnya 3.993 kepala keluarga atau sekitar 12.025 jiwa harus menghadapi dampak langsung bencana ini. Ketinggian air yang mencapai hingga 3 meter di beberapa titik tak hanya merendam rumah warga, tetapi juga menghancurkan lahan pertanian dan memutus akses jalan antar kampung.
Syarifatul menambahkan, banjir serupa tak hanya melanda Berau. Beberapa wilayah lain di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara juga mengalami kondisi yang nyaris sama dalam waktu berdekatan. Fenomena ini, menurutnya, adalah sinyal yang tak bisa diabaikan terkait menurunnya daya dukung lingkungan akibat eksploitasi tambang yang kian tak terkendali.
“Kalau terus begini, setiap musim hujan kita akan selalu waspada banjir. Ini bukan hanya tentang bencana, tapi juga soal keberlangsungan hidup masyarakat dan daerah,” ungkapnya.
Melihat kenyataan tersebut, Syarifatul menegaskan perlunya langkah konkret dan berkelanjutan. Selain evaluasi terhadap perizinan tambang, ia mendorong agar Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mulai serius dalam mempercepat diversifikasi ekonomi.
Ia mengkritik ketergantungan Berau terhadap sektor tambang yang sudah mencapai 67 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai salah satu akar persoalan.
“Kita harus dorong sektor lain seperti pariwisata, pertanian, perikanan, dan UMKM. Potensinya besar tapi belum tergarap maksimal,” jelasnya.
Ia menyebut sektor kakao di Berau sebagai contoh konkret peluang ekonomi yang mulai tumbuh dan bahkan sudah diminati pasar luar negeri. Namun demikian, pengembangan sektor ini membutuhkan dukungan hilirisasi agar nilai tambah bisa dinikmati langsung oleh masyarakat produsen.
“Kalau tidak beralih dari tambang, masyarakat akan terus jadi korban. Kita perlu bangun fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan,” tegasnya.
Komisi III DPRD Kalimantan Timur pun menyerukan agar Pemerintah Provinsi tidak menutup mata terhadap realitas kerusakan lingkungan yang kini menjadi ancaman nyata.
Evaluasi izin tambang, pengetatan pengawasan, serta pembangunan ekonomi alternatif, tegasnya, harus dilakukan secara bersamaan dan segera. Sebab, banjir bukan sekadar bencana alam, melainkan cerminan dari krisis ekologis yang telah lama diabaikan.