Insitekaltim, Bontang – Dengan APBD yang mencapai Rp3,3 triliun, Bontang seharusnya bisa menangani masalah kesehatan warganya lebih baik. Namun kenyataannya, masalah gizi buruk masih mengancam anak-anak di kota ini. Padahal, dengan anggaran sebesar itu, layanan kesehatan yang optimal seharusnya sudah bisa dinikmati semua warga.
Anggota DPRD Bontang Heri Keswanto mempertanyakan bagaimana anggaran besar tersebut belum bisa menyelesaikan masalah mendasar seperti gizi buruk. Heri menilai tata kelola yang belum maksimal menjadi salah satu penyebab utama.
“Kalau kita punya anggaran sebesar Rp3,3 triliun, tapi gizi buruk masih ada, ada yang salah di tata kelola. Pemerintah harusnya lebih serius menangani ini,” tegasnya beberapa hari lalu.
Legislator Partai Gerindra itu mengingatkan, bahwa penanganan gizi buruk tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Dibutuhkan komitmen yang berkelanjutan dari Dinas Kesehatan dan semua pihak terkait.
“Ini soal kesehatan generasi penerus. Kita tidak bisa hanya menunggu masalah muncul, baru bertindak. Harus ada tindakan pencegahan yang berkelanjutan,” kata Heri.
Ia menyebut, dengan alokasi anggaran yang cukup besar, pemerintah seharusnya sudah bisa memperkuat program-program kesehatan, termasuk penyuluhan tentang pentingnya nutrisi dan akses yang lebih mudah ke layanan kesehatan.
Selain soal gizi buruk, Heri juga mengkritik alokasi anggaran yang lebih banyak difokuskan pada pembangunan fisik seperti infrastruktur. Ia merasa pemerintah terlalu sibuk membangun fasilitas, tetapi kurang memberi perhatian pada hal-hal yang langsung berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat, seperti kesehatan.
“Pembangunan fisik memang penting, tapi kalau kita punya gedung-gedung megah sementara ada anak-anak kita yang kurang gizi, apa artinya? Harus ada keseimbangan, jangan sampai sektor kesehatan terabaikan,” kritiknya.
Heri menekankan bahwa sektor kesehatan seharusnya mendapatkan prioritas yang lebih tinggi. Ia menyarankan agar anggaran untuk kesehatan ditingkatkan hingga 20 persen agar masalah seperti gizi buruk dapat tertangani dengan lebih baik.
Selain masalah anggaran, Heri juga menyoroti keluhan masyarakat terkait layanan BPJS Kesehatan yang dinilai terlalu rumit. Warga sering kali dihadapkan dengan syarat administrasi yang panjang, padahal sudah memiliki KTP. Mereka harus melampirkan dokumen lain seperti kartu keluarga (KK) dan akta kelahiran untuk mengakses layanan kesehatan.
“Kenapa harus menyulitkan? KTP sudah cukup sebagai identitas, tidak perlu minta KK dan akta segala macam. Ini memperlambat layanan, padahal kita bicara soal kesehatan yang kadang sifatnya darurat,” tegas Heri.
Ia mendesak agar prosedur administrasi BPJS dipermudah, sehingga warga yang membutuhkan layanan kesehatan bisa dilayani dengan cepat tanpa terhambat oleh urusan dokumen.
“Birokrasi ini harus dipangkas, terutama untuk kasus-kasus yang mendesak. Jangan sampai ada warga yang tidak bisa berobat hanya karena administrasi yang terlalu rumit,” pungkasnya.
Heri berharap pemerintah segera mengevaluasi kebijakan terkait pengelolaan anggaran dan layanan kesehatan. Dengan anggaran besar yang tersedia, seharusnya setiap warga Bontang, terutama anak-anak, bisa mendapatkan akses kesehatan yang layak dan tepat waktu.