Insitekaltim, Samarinda – Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kalimantan Timur (Kaltim) terus menunjukkan tren peningkatan sejak 2023. Hal itu disampaikan Panit Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Kaltim, Renny Witasari.
Ia mengungkap bahwa modus perekrutan berbasis digital kini menjadi pola yang paling banyak digunakan pelaku, dengan eksploitasi seksual sebagai bentuk kejahatan yang paling dominan.
Renny menjelaskan, Polri mulai mengintensifkan pengungkapan kasus TPPO sejak 2023 dan berhasil menempati posisi ketiga nasional dalam penanganan kasus tersebut.
“Polri mulai intensif mengungkap kasus perdagangan orang sejak 2023, dan Alhamdulillah kami mencapai posisi ketiga nasional. Peningkatan ini banyak dipengaruhi maraknya kasus eksploitasi seksual di wilayah Kaltim,” ujar Renny, Kamis, 4 Desember 2025.
Ia menegaskan, penanganan TPPO berpedoman pada UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Perpres Nomor 49 Tahun 2023 tentang Gugus Tugas TPPO. Renny menyebut, unsur TPPO meliputi proses, cara, dan tujuan, di mana bentuk eksploitasi khususnya eksploitasi seksual masih mendominasi kasus di Balikpapan dan wilayah penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN).
Menurut Renny, para pelaku kini memanfaatkan berbagai platform digital seperti Facebook, aplikasi komunikasi, hingga iklan lowongan kerja palsu untuk menjaring korban.
“Tawaran seperti admin online, operator judi daring, hingga LC dengan iming-iming gaji Rp30–40 juta sangat mudah menarik korban, terutama perempuan muda,” jelasnya.
Selain melalui media digital, perekrutan juga dilakukan melalui kerabat atau teman dekat yang memamerkan gaya hidup mewah untuk meyakinkan calon korban.
Renny memaparkan, korban umumnya diberangkatkan tanpa dokumen resmi melalui jalur ilegal. Setibanya di lokasi, mereka dipaksa bekerja 12–15 jam per hari di tempat tertutup, diawasi ketat, dan hasil kerja mereka dipotong untuk membayar utang kepada perekrut.
“Korban tidak boleh keluar, dan seluruh aktivitas mereka diawasi,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa TPPO merupakan kejahatan terorganisir lintas daerah dan negara sehingga penanganannya memerlukan kolaborasi antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, UPTD PPA, serta dukungan masyarakat.
“Kesadaran masyarakat untuk melapor sangat penting untuk memutus jaringan ini,” tegasnya.
Renny menambahkan, mayoritas korban berasal dari kelompok rentan dengan pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sulit sehingga mudah tergiur tawaran pekerjaan instan.
“Kami mengimbau masyarakat untuk berhati-hati terhadap tawaran kerja instan dan selalu memeriksa legalitas dokumen sebelum keberangkatan,” pungkasnya.

