
Insitekaltim,Samarinda – Panitia Khusus (Pansus) II DPRD Kota Samarinda kembali mendiskusikan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Samarinda tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dan Higienis, Rabu (5/6/2024)

Di mana penyusunan raperda ini dilakukan guna menyesuaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. UU ini mewajibkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk memiliki sertifikat halal bagi produk atau barang olahannya.
Diskusi dihadiri berbagai perwakilan dari pemangku kepentingan seperti Kementerian Agama (Kemenag), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian, Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BP POM).
Hadir juga Anggota Komisi II DPRD Samarinda Laila Fatihah. Dalam paparannya, Laila menyoroti pentingnya pembiayaan yang jelas sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Pasal 44 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha dalam hal sertifikasi halal.
“Raperda ini juga ingin mengatur tentang pembiayaan, bahwa pembiayaan harus dijelaskan secara rinci dan diputuskan dengan tepat sebelum perda ini disahkan,” jelas Laila.
Ia mengungkapkan kekhawatirannya apabila pembiayaan tidak dijelaskan secara detail dalam batang tubuh penyusunan Raperda Produk Halal dan Higienis akan menimbulkan kesulitan di masa depan.
Di mana terdapat pembahasan dalam diskusi kala itu adanya pembebasan biaya untuk mengurus sertifikat halal. Artinya para pelaku usaha tidak lagi diberatkan dengan biaya dalam mengurus sertifikat halal dan higienis.
“Kita perlu meluruskan hal ini bersama, kita tidak ingin biaya dikenakan secara sepihak. Jadi makanya kita tanyakan lagi ini benar tidak si pelaku usaha ngurusnya gratis,” tegasnya.
Setelah memastikan bahwa benar para pelaku usaha tak lagi dipungut biaya, Laila menyebutkan terkait biaya pelaksanaan sertifikasi halal dan higienis ini perlu diperinci lagi apakah akan digratiskan sepenuhnya atau biayanya dibebankan pada daerah.
Menurutnya, raperda itu juga harus mencakup mekanisme pembiayaan yang jelas dan mendukung, agar peraturan tersebut tidak hanya menjadi target administratif tanpa substansi yang kuat.
Laila mengingatkan hal ini sebagai salah satu upaya untuk menghindari risiko yang sering disebut sebagai perda mandul, yaitu peraturan daerah yang meskipun disahkan tetapi tidak didukung pendanaan memadai sehingga tidak bisa diimplementasikan secara efektif di masa depan.
“Sebagus apapun kita punya raperda, jika dananya tidak ada, itu tidak akan berguna atau yang sering kita sebut perda mandul,” ujarnya.
Terakhir, Laila kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin membuat perda yang tidak berkualitas dan hanya mengejar target semata. Dengan perhatian khusus terhadap aspek pembiayaan, diharapkan raperda ini dapat menghasilkan peraturan yang kuat dan bermanfaat bagi pelaku usaha serta masyarakat Kota Samarinda.
“Kami tidak ingin perda yang hanya mengejar target tetapi tidak berkualitas,” tutup Laila.