
Insitekaltim,Sangatta – Sekretaris Komisi A DPRD Kutim Basti Sangga Langi menyoroti kelangkaan stok gas Elpiji 3 Kg di Kabupaten Kutim saat Hari Raya Iduladha kemarin.
Akibat kelangkaan tersebut, Basti mengaku menerima keluhan masyarakat khususnya umat muslim yang tidak kebagian gas elpiji, saat perayaan kurban.
“Pas lebaran kemarin orang bingung mencari gas elpiji 3 kg, bahkan ada yang menghubungi saya,” kata Basti, Senin (3/7/2023).
Dirinya menduga kelangkaan itu terjadi, tidak semata karena keterbatasan stok tapi adanya penimbunan gas elpiji sehingga banyak mengambil keuntungan ditengah masyarakat kesulitan mendapatkan gas elpiji.
Bahkan menurutnya, kelangkaan menyebabkan harga penjualan naik hingga Rp 50 ribu jauh diatas dari harga enceran tertinggi (HET).
“Jangan sampai ada yang menimbun akhirnya menaikkan harganya, ada kemarin harganya sampai Rp 50 ribu (per tabung),” ungkap Basti,Politisi Partai Amanat Nasional.
Adapun sebelumnya, dikonfirmasi Insitekaltim, Plt Kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kutim Andi Nur Hadi mengatakan terjadinya kelangkaan gas elpiji diakibatkan tidak adanya kegiatan pendistribusian dari Pertamina saat libur cuti bersama.
Menanggapi hal ini, Basti mengatakan bahwa seharusnya sudah ada upaya mempersiapkan stok oleh Pertamina jelang cuti bersama tersebut.
“Tapi menurut saya ini sudah dilakukan Pertamina, sebelum ada aturan baru mereka sudah mempertimbangkan kebutuhan pasar,” ujarnya.
Tapi untuk memastikan hal ini pemerintah daerah harus mengevaluasi pendistribusian gas elpiji baik dari Pertamina maupun agen gas elpiji. Sebab antara Pertamina dan agen gas elpiji dan pemerintah terdapat MoU atau kerja sama.
Evaluasi tersebut perlu dilakukan, sebab adanya indikasi permainan harga gas elpiji khususnya di pelosok Kutim dengan jangkauan cukup jauh seperti di Kecamatan Busang dan Kaliorang dengan harga gas elpiji dua kali lipat dari harga subsidi.
“Nah ini perlu perhatian pemerintah, bisa di evaluasi terkait distribusi gas LPG 3kg, jangan sampai dari sana hanya Rp 25 ribu tetapi di daerah terpencil Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu, ini kan merugikan masyarakat,” tandasnya.