Reporter : Ina – Editor : Redaksi
Insitekaltim,Samarinda –Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yudhi Satriyo dari Kejari Samarinda menuntut terdakwa Achmad AR AMJ dua tahun penjara.
Agenda sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Samarinda. Majelis Hakim yang dipimpin Yoes Hartyarso didampingi hakim anggota Joni Kondolele dan Edi Toto Purba, terdakwa Achmad AR AMJ bin Musa (alm) terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana dengan sengaja memakai surat palsu, sebagaimana diatur dan diancam pasal 263 ayat (2) KUHP.
“Menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun,” kata Jaksa Yudhi dalam amar tuntutannya.
Mendengar tuntutan 2 tahun penjara itu, Achmad AR langsung menyatakan protes, dan menolak dengan tegas tuntutan JPU tersebut, pekan lalu.
Kepada Majelis Hakim yang menyidangkan, dan mengadili perkara pemalsuan surat itu, Achmad AR meminta agar alat bukti yang dia sampaikan sebelum pembacaan tuntutan JPU agar bisa direspons, dan dipertimbangkan.
Achmad ngotot saat itu juga meminta kepada hakim, untuk membuka bukti-bukti yang membuktikan kalau dirinya korban kriminalisasi, termasuk memutar rekaman video dan menghadirkan saksi kembali.
“Saya mohon rekaman yang saya serahkan kemarin itu diputar saja,” kata Achmad AR kepada hakim Yoes.
Terdakwa pun akhirnya ditegur Ketua Hakim Yoes, untuk bisa lebih tenang mengikuti jalannya persidangan yang dihadapi. “Saudara terdakwa bisa tenang nggak? ” tegas Yoes kepada Achmad AR tanpa menyetujui permintaan terdakwa .
Pada saat di temui awak media setelah persidangan perkara nomor 742/Pid.B/2019/PN.Smr di area Pengadilan Negeri Samarinda.
Abdul Rahim, Ketua Bidang Advokasi dan Lingkungan Hidup, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Permahi, memberikan tanggapan atas tuntutan terhadap Achmad.
Menurut Rahim, tidak pernah digali dan menguji alat bukti otentik dari terdakwa (Achmad).
“Ini mengusik rasa keadilan dan bisa meresahkan masyarakat, sementara dalam persidangan hakim seharusnya wajib mengali dan menguji secara meteril fakta-fakta jangan lah sampai hak-hak terdakwa itu di hilangkan hanya karena terdakwa tidak mengerti membela diri dan hukum acara,” ungkap Rahim.
Itu termaktub dalam undang-undang nomor 48 tahum 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Disini jelas, kata Rahim menegaskan bahwa hakim wajib untuk menjalankan kewajibannya dan tanpa mengurangi hak-hak terdakwa di persidangan, lalu mengapa hakim tak mau memeriksa alat bukti video dan mengali keterangan saksi JPU yang bernama Lisia, dimana justru mengatakan dakwaan JPU hasil rekayasa dan palsu?
Menurut Rahim, dalam hal tuntutan JPU 2 tahun terhadap terdakwa Achmad, Rahim berpendapat bahwa jangankan dua tahun, sedetik pun Achmad tidak pantas dihukum karena memang tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa.
“Semua hasil rekayasa mafia tanah untuk merampas hak-hak Achmad melalui oknum penegak hukum, bagaimana tidak Achmad yang seharusnya korban, malah dilaporkan dan dipidanakan oleh pelaku pemalsuan itu sendiri,” jelasnya.
Karena itu, sangat ironis sekali jika negeri ini masih ada penegak hukum yang justru menjadi alat mafia tanah untuk memutar balik fakta kebenaran, dan tidak menimbang bukti-bukti dan fakta-fakta.
Rahim menjelaskan pihaknya akan bersurat terbuka ke Presiden Jokowi dan lembaga hukum lainnya bahwa ada masyarakatnya yang diperlakukan semena-mena seperti ini dan akan menceritakan kronologis sampai Achmad mendapatkan haknya dipersidangan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara Yudhi Satriyo jaksa penuntut umum (JPU) Kajari Samarinda, mengatakan bahwa telah menangani kasus Achmad sesuai hukum acara yang berlaku. “Iya dituntut dua tahun,” katanya.