
Insitekaltim, Samarinda– Penahanan tunjangan kinerja (tukin) dinilai sebagai tindakan zalim dan maladministrasi. Kendati penahan tukin memiliki alasan penjelas dengan bertitik tolak pada perubahan nomenklatur kementerian namun diduga tidak memadai. Tak pelak, salah satu solusi alternatif untuk menjembatani persoalan itu dengan menerbitkan peraturan presiden (perpres).
“Menurut saya, langkah terbaik adalah dengan menerbitkan perpres. Kita perlu bersikap terbuka dan bersabar, tetapi langkah ini harus segera diambil agar hak para dosen terpenuhi,” ungkap Anggota DPRD Kota Samarinda Sani Bin Husain, Rabu 19 Februari 2025 di ruang kerjanya sebagaimana dikutip Insitekaltim dari keterangan tertulis yang diterima media ini, Kamis 20 Februari 2025 pagi.
Alumni Program Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Mulawarman itu menilai penahanan pembayaran tukin dosen selama lima tahun merupakan tindakan zalim dan maladministrasi.
“Penahanan tukin dosen ini adalah bentuk kezaliman dan maladministrasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menegaskan bahwa setiap ASN berhak mendapatkan gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, serta risiko pekerjaannya,” ujar Sani Bin Husain.
Selain UU Nomor 5 Tahun 2014, sambungnya, basis regulasi lainnya merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2020, yang dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa pegawai di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) berhak atas tunjangan kinerja setiap bulan. Selain itu, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 447/P/2024, yang ditandatangani oleh Nadiem Makarim sebelum mengakhiri jabatannya, semakin memperkuat kewajiban pemerintah untuk membayarkan hak tersebut.
Menurut Sani Bin Husain perubahan nomenklatur kementerian tidak boleh dijadikan alasan untuk menahan tunjangan dosen. Ia pun berjanji akan mendorong koleganya di DPRD Provinsi dan DPR RI Komisi X untuk terus memperjuangkan hak-hak para dosen.
“Tidak seharusnya perubahan nama kementerian, yang sudah terjadi dua kali hingga kini menjadi Kemendikbud Ristek, dijadikan dalih untuk menahan hak tukin dosen. Saya mengajak kolega di DPRD dan DPR RI untuk bersama-sama memperjuangkan hal ini,” tegasnya.
Sebagai solusi cepat, Sani Bin Husain menyarankan agar presiden segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) guna menyelesaikan permasalahan ini.
Ia juga menyoroti pentingnya memberikan apresiasi dan penghargaan kepada dosen atas kontribusi mereka terhadap pendidikan tinggi.
“Dosen-dosen juga berhak mendapatkan perhatian, baik dari sisi kesejahteraan maupun perlindungan mereka. Kami akan terus menyuarakan hal ini hingga hak-hak mereka terpenuhi,” tambahnya.
Meskipun sebagai anggota DPRD Kota Samarinda hal ini bukan kewenangannya secara langsung, Sani merasa berkewajiban untuk menyuarakan aspirasi dosen, mengingat latar belakang pendidikannya di bidang administrasi pendidikan.
“Kalau kita semua diam, kezaliman seperti ini akan terus berulang di negeri ini,” pungkasnya.