
Insitekaltim, Samarinda – Program Transmigrasi 5.0, yang tengah dirancang pemerintah pusat dinilai berpotensi memicu friksi sosial di daerah jika tidak dilaksanakan secara terbuka dan melibatkan masyarakat lokal sejak awal.
Anggota DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin, menyampaikan kekhawatiran tersebut karena dalam pengalaman sebelumnya, banyak program transmigrasi menimbulkan ketegangan akibat lemahnya komunikasi publik dan minimnya keterbukaan informasi.
“Transmigrasi memang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi kalau tidak transparan, masyarakat lokal bisa merasa dirugikan,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPRD Kaltim, Senin, 28 Juli 2025.
Salehuddin menilai Kaltim sebagai daerah tujuan transmigrasi dan lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) memiliki sensitivitas sosial yang tinggi.
Ia menekankan bahwa program sebesar ini tidak cukup hanya dilihat dari sisi pembangunan fisik, tetapi juga dari dampak sosial dan keadilan distribusi manfaat ekonomi.
Menurutnya, salah satu penyebab munculnya konflik adalah rendahnya keterlibatan warga lokal dalam perencanaan. Proses komunikasi yang tidak terbuka membuat masyarakat merasa dikalahkan dalam kebijakan yang seharusnya menjamin pemerataan pembangunan.
“Banyak warga tidak tahu maksud programnya, lalu muncul prasangka. Kalau tidak hati-hati, bisa memunculkan kesenjangan antara pendatang dan warga asli,” katanya.
Salehuddin juga menyinggung kasus-kasus sebelumnya di sejumlah wilayah transmigrasi di Kaltim yang menunjukkan ketidaksiapan pemerintah daerah dan lemahnya koordinasi antarpemerintah.
Ia mencontohkan, ada proyek yang tidak melibatkan pemerintah kabupaten, sehingga ketika muncul sengketa lahan atau protes sosial, semua pihak saling melempar tanggung jawab.
Selain itu, ia menambahkan bahwa ketegangan sering kali bukan hanya soal teknis lahan, tetapi soal legitimasi. Ketika masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau tidak mendapat informasi yang utuh, program sebesar apapun akan sulit diterima.
“Jangan sampai transmigrasi dianggap hanya menguntungkan pendatang. Harus ada ruang dialog sejak awal,” kata Salehuddin.
Sebagai Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, yang membidangi pemerintahan dan hukum, Salehuddin mendorong agar program ini dirancang dengan pendekatan keadilan sosial. Ia meminta pemerintah pusat menggandeng pemerintah provinsi dan kabupaten secara sinergis, serta aktif turun ke lapangan bersama masyarakat.
Ia juga mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Kementerian Transmigrasi untuk menjelaskan secara gamblang status lahan yang akan digunakan dalam program tersebut, agar tidak ada penafsiran ganda yang berujung konflik.
“Status lahan harus jelas sejak awal. Jangan ada penggusuran tersembunyi atau akuisisi sepihak yang menimbulkan resistensi sosial,” tegasnya.
Salehuddin memastikan DPRD Kalimantan Timu, siap mengambil peran sebagai penengah. Menurutnya, parlemen daerah dapat menjadi ruang aspirasi dan dialog antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pusat agar implementasi kebijakan berjalan aman dan berkeadilan.
“DPRD bukan hanya pengawas. Kami siap menjembatani agar program ini tidak merugikan siapa pun,” tutupnya.