
Insitekaltim, Samarinda – Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dalam APBD Kalimantan Timur (Kaltim) tahun 2024 tercatat mencapai angka fantastis, yakni Rp2,59 triliun. DPRD Kaltim menyoroti besarnya Silpa tersebut sebagai indikasi lemahnya penyerapan anggaran dan buruknya perencanaan program pembangunan oleh Pemerintah Provinsi Kaltim.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kaltim Damayanti menyebut jumlah Silpa sebesar itu bukan hanya sekadar angka sisa, melainkan potensi hak rakyat yang tertunda. Menurutnya, anggaran yang tidak terserap menunjukkan kegagalan dalam mengeksekusi kegiatan yang telah dirancang untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
“Silpa itu bukan cuma angka. Itu bisa berarti tertahannya hak masyarakat untuk menikmati program dan layanan yang mestinya mereka terima tahun ini,” ucap Damayanti, Senin 28 Juli 2025.
Ia menyoroti bahwa efisiensi memang dapat menimbulkan Silpa, namun Silpa yang berasal dari kegiatan gagal terlaksana adalah catatan serius. DPRD pun meminta Pemprov Kaltim segera mengevaluasi pola perencanaan dan eksekusi anggaran, agar permasalahan ini tidak berulang di tahun-tahun berikutnya.
“Kalau Silpa terjadi karena efisiensi belanja atau kenaikan pendapatan, itu masih bisa dimaklumi. Tapi kalau karena kegiatan gagal dijalankan, maka ada yang keliru sejak awal,” ujarnya.
Damayanti menggarisbawahi pentingnya reformulasi pendekatan perencanaan anggaran di lingkungan pemprov. Ia menilai bahwa banyak program cenderung hanya dikejar secara administratif, tanpa mempertimbangkan kapasitas pelaksanaan di lapangan dan kesiapan teknis perangkat daerah.
Kinerja pendapatan daerah sebenarnya cukup menggembirakan. realisasi pendapatan asli daerah (PAD) Kaltim 2024 mencapai Rp10,23 triliun atau 102,53 persen dari target. Namun, capaian tersebut tidak diimbangi dengan belanja yang optimal, sehingga muncul Silpa dalam jumlah besar.
“Pendapatannya bagus, tapi kenapa belanjanya lemah? Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi menyangkut manajemen keuangan daerah yang perlu dibenahi,” tutur politisi Komisi IV DPRD Kaltim itu.
DPRD mengingatkan agar APBD tidak sekadar jadi dokumen formal, tapi benar-benar menjadi instrumen perubahan. Silpa yang terlalu besar justru menunjukkan bahwa uang rakyat tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Sebagai langkah perbaikan, DPRD melalui Badan Anggaran mendesak pemprov melakukan evaluasi menyeluruh terhadap siklus penganggaran, mulai dari perencanaan, pengalokasian, pelaksanaan, hingga pelaporan. Setiap OPD juga didorong menyusun kegiatan secara realistis dan menghindari praktik copy paste kegiatan tahun sebelumnya.
“Kalau ini tidak dibenahi, setiap tahun kita akan menghadapi masalah yang sama, anggaran tidak terserap, pembangunan tidak jalan, dan rakyat hanya diberi janji,” ujar Damayanti.
Dengan perencanaan yang lebih matang, penganggaran yang tepat sasaran, serta eksekusi yang disiplin, DPRD berharap Silpa bisa ditekan pada APBD 2025. Evaluasi total terhadap pola kerja OPD juga dianggap penting untuk menciptakan tata kelola keuangan yang sehat dan berpihak pada kepentingan masyarakat.