
Insitekaltim, Samarinda – Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DPRD Kalimantan Timur, Syarifatul Sya’diah menegaskan bahwa kejelasan batas wilayah menjadi isu fundamental dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah provinsi.
Penegasan itu disampaikan usai pertemuan konsultatif antara DPRD Kalimantan Timur dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang berlangsung di Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025.
Menurutnya, pertemuan tersebut bukan semata agenda formal kelembagaan, tetapi justru menjadi titik krusial untuk menyelesaikan akar persoalan yang selama ini menghambat konsolidasi kewilayahan di Kalimantan Timur.
Ia menyebut bahwa batas wilayah bukan sekadar garis administratif, melainkan fondasi utama dalam merancang arah pembangunan daerah secara tepat sasaran dan adil.
Dalam rapat tersebut, lanjut Syarifatul, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur turut memaparkan sejumlah wilayah yang masih menyisakan ketidakjelasan status batas administratif.
Beberapa di antaranya mencakup perbatasan antara Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara, Penajam Paser Utara dengan Kutai Barat, serta Kutai Timur dengan Berau.
Selain itu, permasalahan juga muncul dalam batas antardaerah provinsi, seperti antara Kutai Barat dengan Barito, Mahakam Ulu dengan Barito dan Murung Raya, serta Kabupaten Paser dengan Barito.
“Jangan sampai masyarakat dirugikan hanya karena batas wilayah belum jelas. Ini berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan APBD dan kejelasan kewenangan pembangunan,” ujar Syarifatul Sya’diah, saat ditemui pada Jumat, 25 Juli 2025.
Politikus Partai Golongan Karya itu menambahkan bahwa kejelasan batas wilayah tidak hanya penting dari sisi legalitas, tetapi juga memiliki implikasi praktis terhadap pelaksanaan pembangunan di lapangan.
Ia menilai bahwa sering kali terjadi tumpang tindih kewenangan antardaerah, yang pada akhirnya merugikan efektivitas program-program pembangunan yang sudah dirancang dalam RPJMD.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa dokumen RPJMD tidak bisa dilepaskan dari presisi data dan akurasi peta kewilayahan.
Tanpa itu, menurut dia, seluruh visi dan misi pembangunan yang dicantumkan dalam dokumen akan kehilangan relevansi dan tidak dapat menjawab persoalan nyata masyarakat.
“Di samping itu, kejelasan batas diyakini akan mempertegas pembagian kewenangan dan memperkecil potensi tumpang tindih antarlevel pemerintahan,” ujarnya.
Pansus RPJMD melihat bahwa keberhasilan penyusunan dokumen perencanaan ini bukan hanya bertumpu pada idealisme atau ambisi pembangunan, tetapi lebih pada seberapa kuat perangkat hukum dan data spasial mendasari seluruh proses penyusunannya.
Oleh sebab itu, sinergi antara DPRD, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat menjadi mutlak dalam merumuskan peta kewilayahan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, Syarifatul menegaskan bahwa akurasi dokumen RPJMD harus menjadi prioritas utama agar tidak terjadi pelanggaran administratif maupun hambatan teknis dalam pelaksanaan program.
Hal ini, menurutnya, juga sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang menuntut ketepatan dalam pengambilan kebijakan berbasis kewilayahan.
Ia kembali menegaskan bahwa forum konsultatif bersama Kemendagri itu menjadi langkah awal yang penting untuk membangun pijakan hukum yang kokoh bagi dokumen perencanaan daerah lima tahunan, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik DPRD dalam memastikan pembangunan Kalimantan Timur berpijak pada kepastian wilayah dan keadilan distribusi. (Adv)

