Insitekaltim, Samarinda – Politik modern telah bergeser. Bukan lagi fakta dan data yang mendominasi, melainkan sentimen dan persepsi publik.
Dalam sebuah diskusi bertajuk “Netralitas Adalah Kunci, Jurnalis Bukan Juru Kampanye”, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur Abdurrahman Amin menyoroti fenomena politik perasaan yang kian memengaruhi demokrasi, baik di dunia internasional maupun Indonesia.
Acara yang diinisiasi oleh Jurnalis Milenial Samarinda dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda ini berlangsung di T-co Coffee, Jalan Banggeris, Samarinda, Minggu (17/11/2024). Diskusi tersebut memancing refleksi mendalam, terutama tentang bagaimana jurnalis harus berperan di tengah era digital yang semakin rumit.
Pria yang akrab dipanggil Rahman itu mengawali diskusi dengan mengulas kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat pada 5 November 2024. Banyak yang terkejut dengan hasil ini, terutama pendukung Kamala Harris. Sebagian besar analisis menyebutkan bahwa kemenangan Trump tidak lepas dari keberhasilannya memanfaatkan perasaan publik.
“Situasi ekonomi Amerika sebenarnya baik-baik saja menjelang lengsernya Presiden Joe Biden. Inflasi mulai terkendali dan daya beli masyarakat meningkat. Tetapi, yang menjadi persoalan adalah persepsi bahwa ekonomi memburuk,” jelas Rahman.
Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa di era post-truth, perasaan publik lebih dominan daripada fakta. Sentimen bisa direkayasa oleh mesin kampanye canggih, terutama melalui media sosial. “Yang dihadapi bukan lagi keadaan faktual, melainkan perasaan publik yang bisa diarahkan sesuai kepentingan politik,” tambahnya.
Era post-truth membuat politik menjadi medan pertempuran untuk memenangkan sentimen publik. Rahman menekankan bahwa di era digital, opini dan persepsi yang bersifat subyektif sering kali lebih menentukan daripada kebenaran faktual.
“Media sosial memungkinkan publik menyampaikan opini secara spontan, tetapi di sisi lain, perasaan tersebut bisa dimanipulasi oleh narasi-narasi masif yang dirancang oleh mesin kampanye,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana para pendukung Trump menggunakan platform seperti X (dulunya Twitter) dan podcast konservatif untuk membentuk opini publik yang menguntungkan mereka.
Rahman mengingatkan bahwa demokrasi di era digital menghadapi tantangan besar: bagaimana membatasi dampak negatif dari politik sentimen dan membawa kembali politik berbasis nalar.
Tantangan Demokrasi di Indonesia, Khususnya Kaltim
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, termasuk pada pilkada di Kalimantan Timur. Rahman menilai bahwa masyarakat cenderung lebih terpengaruh oleh narasi di media sosial daripada fakta di lapangan.
“Media sosial sering kali memanipulasi perasaan dan persepsi, tetapi ada hal yang tidak bisa direkayasa, yaitu integritas dan karakter,” ujar Rahman.
Ia mengajak para jurnalis untuk memberikan informasi yang jujur dan berbasis realitas, bukan sekadar mengikuti arus sentimen yang dibangun di media sosial.
Di tengah era digital, Rahman menegaskan bahwa jurnalis memiliki peran penting sebagai penjaga realitas publik. Hal ini, lanjutnya, menjadi auto kritik bagi media konvensional yang dinilai belum sepenuhnya menjalankan perannya dalam menggambarkan kondisi yang sebenarnya terjadi.
“Ini menjadi auto kritik untuk kita semua, hari ini kita belum memberikan kondisi realitas yang benar-benar terjadi untuk kita gambarkan kepada masyarakat. Hari ini masyarakat masih banyak berasumsi terhadap apa yang terjadi di media sosial,” tuturnya.
“Kita yang bergelut di media mainstream harus memberikan pencerahan. Jangan hanya bersandar pada narasi di media sosial, karena itu bisa direkayasa. Tugas kita adalah memberikan informasi yang akurat dan mencerahkan masyarakat,” tegas Rahman.
Rahman juga mengingatkan bahwa jurnalis harus berpegang teguh pada kode etik jurnalistik dan memperjuangkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Dengan begitu, media dapat menjadi pilar demokrasi yang kokoh di tengah arus politik sentimen yang semakin deras.
Sebagai penutup, Rahman menyerukan pentingnya mengembalikan politik berbasis nalar di tengah tantangan politik perasaan. “Jurnalis harus mampu menjadi jembatan antara fakta dan publik, sehingga demokrasi tidak hanya menjadi ajang manipulasi sentimen, tetapi benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi pengingat bagi jurnalis untuk tetap menjaga netralitas dan integritas, sekaligus membangun kesadaran publik tentang pentingnya menilai informasi secara kritis di era digital.