Insitekaltim, Samarinda – Di tengah arus deras pilkada dan hiruk pikuk politik dan demokrasi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur Abdurrahman Amin menegaskan pentingnya peran media siber sebagai pilar keempat demokrasi.
Namun, di balik peran vitalnya, pria yang akrab dipanggil Rahman itu menyoroti bagaimana media siber harus “bertarung” untuk tetap hidup di tengah tekanan finansial dan disrupsi teknologi.
Dalam forum diskusi publik bertajuk “Peran Media Siber Samarinda untuk Mewujudkan Pilkada Damai di Kaltim” yang digelar dalam rangkaian pelantikan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Samarinda 2024-2027 di Cafe Bagios, Senin (21/10/2024), ia menyampaikan pesan kuat tentang tantangan yang dihadapi media dan wartawan, yang kini juga harus berperan sebagai pengusaha demi kelangsungan bisnis medianya.
“Media adalah pilar demokrasi keempat, tapi sayangnya, pilar ini harus membiayai dirinya sendiri,” tegas Rahman.
Di hadapan insan pers dan pegiat media serta penyelenggara, pengawas pilkada, ia menggarisbawahi ketimpangan yang terjadi antara pers dan tiga pilar demokrasi lainnya -legislatif, eksekutif dan yudikatif- yang secara finansial didukung oleh negara. Media, sebaliknya, harus berjuang sendiri, menghadapi realitas bahwa mereka tak bisa bergantung pada siapa pun, selain kemampuan bisnisnya.
Tak heran, menurut Rahman, media pers kini harus memiliki elemen bisnis di dalamnya agar tetap bertahan. “Salah satu organisasi yang menaungi bisnis pers adalah Serikat Media Siber Indonesia,” ujarnya. Organisasi ini, lanjutnya, terus mendampingi dan memperkuat media siber agar mampu menghadapi era digital yang penuh tantangan.
Dalam kondisi saat ini, menurut Rahman, batas antara wartawan sebagai jurnalis dan wartawan sebagai pengusaha sudah sangat tipis, bahkan nyaris hilang. “Sekarang sudah tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya.
Ia menekankan bahwa disrupsi teknologi telah mengubah dinamika dunia jurnalistik. Wartawan kini dituntut tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga mengelola media yang menghidupi mereka.
Namun demikian, ia menolak gagasan tentang “berita negatif”. Bagi Rahman, yang menentukan apakah sebuah berita itu negatif atau tidak adalah bagaimana pembaca meresponsnya, bukan bagaimana berita tersebut ditulis.
“Berita negatif itu menandakan wartawan sudah tidak adil dari pikirannya,” katanya. Oleh karena itu, wartawan harus tetap berpegang pada fakta sebagai fondasi utama dalam penyusunan berita.
Rahman juga menjelaskan perbedaan mendasar antara media siber berbasis pers dengan media sosial. Media siber yang profesional, kata dia, memiliki proses jurnalistik yang jelas dan transparan—penggalian fakta, konfirmasi dan validasi—yang menjamin keseimbangan berita.
“Itu yang membedakan media pers dengan media sosial yang hanya mengambil dari postingan singkat,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kesalahan terbesar media sosial adalah tidak adanya verifikasi yang mendalam, yang menyebabkan penyebaran informasi keliru. “Di media siber berbasis pers, berita harus diverifikasi dengan cara mendalam dan berimbang,” katanya, seraya mengingatkan bahwa publik sering kali keliru memahami berita yang mereka konsumsi di media sosial.
Dalam kesempatan itu, Rahman juga menyinggung soal objektivitas yang sering kali dijadikan “ideal” dalam jurnalistik. Menurutnya, objektivitas mutlak sulit dicapai karena manusia selalu memiliki kecenderungan subjektif. “Subjektivitas kita sebagai manusia itu tidak akan mungkin hilang dalam produk jurnalistik kita,” ujarnya.
Meski demikian, wartawan tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan publik melalui karya jurnalistiknya. “Sandaran wartawan adalah bagaimana kita berbicara dan mengungkapkan kebenaran untuk kepentingan umum,” ungkap Rahman.
Dalam konteks pilkada atau politik nasional, subjektivitas mungkin tidak bisa dihindari, tetapi tugas wartawan adalah memastikan fakta tetap menjadi inti dari setiap berita.
Menutup penyampaiannya, Abdurrahman mengingatkan bahwa bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Kepercayaan publik adalah landasan utama bagi media untuk terus bertahan. “Jika ada media yang tidak bisa dipercaya, dua tahun lagi mungkin media itu akan tutup,” katanya.
Di tengah persaingan sengit dan tekanan ekonomi, media yang kehilangan integritas akan sulit bertahan. Kepercayaan publik terhadap media pers adalah hal yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan media di era digital ini.
Dengan tantangan yang semakin kompleks, Rahman menegaskan bahwa wartawan dan media siber harus terus berkomitmen untuk menyajikan berita yang berkualitas dan berimbang. Dalam situasi yang sering kali penuh tekanan, tugas utama wartawan tetap sama, mengungkapkan kebenaran demi kepentingan publik.