Insitekaltim, Samarinda – Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Noryani Sorayalita mengungkapkan bahwa kasus kekerasan di Kaltim sepanjang Januari hingga 31 Oktober 2025 mencapai 1.110 laporan dengan total korban 1.118 orang.
Dari jumlah tersebut, 61 persen merupakan anak-anak, sedangkan 39 persen korban dewasa, dengan rata-rata tiga kasus terjadi setiap hari.
Noryani menjelaskan bahwa angka tersebut meningkat sekitar 90 laporan dibandingkan periode September yang tercatat 1.020 kasus. Meski situasi ini memprihatinkan, ia menilai kenaikan laporan juga menunjukkan meningkatnya keberanian masyarakat dalam mengungkap kasus kekerasan.
“Kami mengapresiasi masyarakat yang mulai berani speak up dan melaporkan kasus kekerasan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain,” ujar Noryani, Kamis, 4 Desember 2025.
Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan pada 2025 adalah kekerasan fisik, disusul seksual dan psikis. Pola ini berbeda dari tahun sebelumnya yang didominasi kekerasan seksual.
Sementara itu, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tercatat sebanyak 15 laporan atau sekitar 1,1 persen dari total kasus kekerasan yang masuk ke sistem Simfoni PPA.
Menurut Noryani, Kaltim bukan daerah pemasok korban, melainkan lebih sering menjadi tujuan dan transit, terutama wilayah dengan mobilitas tinggi seperti Balikpapan akibat pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Yang paling banyak itu di Balikpapan karena daerah transit dan dekat IKN. Kemungkinan kasusnya lebih dari 15, tapi itu yang tercatat sebagai laporan resmi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa modus perdagangan orang kini tidak lagi sebatas lintas provinsi. TPPO juga ditemukan dalam skala kabupaten, kecamatan, bahkan desa, sehingga masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dan literasi terkait kekerasan.
Dalam hal penanganan, DKP3A melakukan pendampingan berjenjang bersama UPTD-PPA kabupaten/kota, termasuk pemulangan korban antarprovinsi dengan dukungan psikologis dan sosial sesuai kebutuhan.
Menanggapi pandangan bahwa Tim Reaksi Cepat (TRC) PPA lebih responsif, Noryani menegaskan bahwa masing-masing memiliki mekanisme berbeda namun tetap berkoordinasi.
“TRC berbasis masyarakat dan bisa turun kapan saja, sementara kami berbasis laporan dan sesuai regulasi. Tetapi dalam penanganan korban, koordinasi berjalan optimal,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) tetap menjalankan fungsi pencegahan melalui layanan konseling. Meski keterbatasan tenaga psikolog menjadi tantangan, DKP3A tetap menggandeng psikolog klinis UPTD-PPA untuk menjaga efektivitas layanan.
“Puspaga bersifat preventif. Dengan SDM terbatas, kami tetap berupaya optimal memberikan layanan yang dibutuhkan masyarakat,” tutupnya.

