Insitekaltim,Samarinda – Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran telah menyulut kegaduhan di berbagai kalangan, terutama komunitas pers dan publik. Sejumlah pasal dalam draf yang beredar dinilai berpotensi mengekang kebebasan pers dan berekspresi.
Jika draf ini disahkan menjadi undang-undang, ini akan menjadi kemunduran signifikan sekaligus mengulang sejarah kelam pembungkaman pers di Indonesia.
Selama dua pekan terakhir, penolakan terhadap draf revisi UU Penyiaran terus menggema. Tak hanya di komunitas pers, isu ini juga menuai sorotan luas dari masyarakat. Jurnalis di berbagai kota menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak draf tersebut.
Di Kalimantan Timur, puluhan jurnalis berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Kaltim pada Rabu (29/5/2024). Mereka membawa sejumlah poster yang menyuarakan penolakan terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Poster-poster tersebut bertuliskan pesan-pesan seperti “Jurnalisme Investigasi Dikebiri, Demokrasi Mati”, “Hentikan Pembungkaman, Selamatkan Kebebasan”, dan “Jangan Minta Berita Seremoni Kalau Berita Investasi Kau Amputasi”. Salah satu poster yang menarik perhatian bertuliskan “Cukup Rinduku yang Meradang Investasiku Jangan Kau Hadang”.
Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kaltim Muhammad Sukri mengemukakan bahwa pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang menjadi sorotan utama adalah Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif.
Pasal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28F yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Selain itu, pasal ini juga bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2), yang menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran.
Tak hanya itu, huruf k dalam Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan “isi siaran” dan “konten siaran” yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik juga menjadi sorotan.
Menurut Sukri, bagian ini sangat multitafsir dan berpotensi menjadi “pasal karet”. Dia menekankan bahwa penilaian terhadap “berita bohong” adalah domain dan kewenangan Dewan Pers seperti diatur dalam UU Pers yang berlandaskan UUD 1945.
“Ini sangat multitafsir dan sangat bisa berpotensi menjadi pasal karet,” ungkap Sukri.
Sukri juga menyoroti Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) dalam RUU Penyiaran yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik lembaga penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya, ini tidak pantas karena dapat mengurangi independensi pers.
“Jadi hari ini, kami bersama teman-teman melakukan penolakan agar DPR RI membatalkan draf UU Penyiaran, kalau perlu tidak dilanjutkan lagi,” pinta Sukri.
Gema penolakan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap nasib kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
Jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap ngotot menyetujui draf tersebut, maka potensi kemunduran demokrasi sangat besar.
Publik pun berharap agar suara penolakan ini didengar dan dipertimbangkan demi menjaga kebebasan berekspresi dan integritas jurnalisme di tanah air.