
Insitekaltim, Samarinda –Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur Abdulloh menyebutkan praktik penggunaan jalan umum oleh perusahaan tambang selama ini sering menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Jalan rusak, kecelakaan meningkat, hingga konflik sosial tak terhindarkan.
Atas dasar itu, Abdulloh menegaskan bahwa perusahaan tambang di Kalimantan Timur tidak boleh lagi menggunakan jalan umum sebelum membangun jalur khusus untuk keperluan operasional mereka.
Pernyataan ini disampaikan menyusul banyaknya laporan masyarakat yang mengeluhkan rusaknya infrastruktur jalan akibat intensitas lalu lintas kendaraan tambang yang tinggi.
“Jalan umum tidak boleh dipakai sembarangan oleh perusahaan tambang. Sebelum mereka membangun jalan sendiri, izin tidak bisa diberikan. Regulasi bisa ditegakkan supaya masyarakat tidak dirugikan,” tegas Abdulloh.
Ia menuturkan bahwa dampak dari penggunaan jalan umum oleh kendaraan tambang tidak hanya terbatas pada kerusakan fisik jalan, tetapi juga menimbulkan risiko keselamatan yang tinggi bagi pengguna jalan lain, serta menjadi pemicu konflik sosial di sejumlah wilayah.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah di Muara Kate, Kabupaten Paser dimana warga sempat terlibat ketegangan serius dengan pihak perusahaan karena jalan penghubung yang hancur akibat aktivitas truk tambang.
“Seperti di KPC contohnya, mereka sedang membangun jalan sepanjang 12,7 kilometer sebelum menggunakan jalan nasional sepanjang 17,8 kilometer,” katanya.
Menurut Abdulloh, langkah yang ditempuh oleh Kaltim Prima Coal (KPC) itu adalah contoh yang seharusnya ditiru perusahaan tambang lainnya. Ia mengingatkan bahwa perusahaan tidak bisa hanya mengeruk keuntungan sementara masyarakat yang harus menanggung dampaknya.
“Itu langkah yang benar. Jangan sampai perusahaan hanya ambil, sementara masyarakat yang menanggung kerugiannya,” sambungnya.
Abdulloh juga menekankan bahwa penggunaan lahan warga untuk keperluan jalur tambang tidak boleh dilakukan tanpa proses yang adil. Setiap tanah yang digunakan, menurut dia, harus melalui proses ganti rugi yang layak dan sesuai nilai keekonomian lahan tersebut.
“Tidak boleh ada masyarakat yang dirugikan. Tanah yang dipakai perusahaan harus ada ganti ruginya,” ujarnya.
Meski telah menyampaikan desakan dan rekomendasi, Abdulloh mengakui bahwa kewenangan teknis terkait pengelolaan jalan nasional berada di tangan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN). Dalam posisi ini, Komisi III DPRD hanya bisa mendorong pemerintah eksekutif untuk bertindak melalui regulasi dan pengawasan ketat.
“Kami memberikan masukan dan teknis rekomendasi. Tapi secara kewenangannya ada di BBPJN. Walaupun begitu, DPRD akan terus mengawal agar aturan ditegakkan,” katanya.
Sinkronisasi antarregulasi lintas lembaga menjadi salah satu perhatian serius Komisi III. Abdulloh menyoroti pentingnya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota agar tidak terjadi tumpang tindih aturan yang pada akhirnya menghambat efektivitas kebijakan.
“Kalau regulasi tidak sinkron, kita akan terus menghadapi kebingungan dalam pelaksanaan di lapangan. Investasi bisa terganggu, masyarakat juga dirugikan,” jelasnya.
Di luar isu jalan tambang, DPRD Kaltim juga tengah menggagas regulasi lain guna memperkuat pendapatan asli daerah (PAD). Salah satunya, menurut Abdulloh adalah revisi peraturan daerah tentang pengelolaan alur sungai. Revisi ini ditujukan untuk memperluas ruang fiskal daerah dengan cara membuka peluang pemasukan dari sektor yang selama ini kurang terkelola secara optimal.
“Perda ini nantinya akan memperluas pengelolaan alur sungai agar daerah bisa memastikan masyarakat mendapat pemasukan yang selama ini belum maksimal. Jadi selain jalan tambang kita juga harus mencari sumber PAD lain,” jelasnya.
Abdulloh menegaskan bahwa kedua isu, jalan tambang dan alur sungai, memiliki titik temu dalam satu tujuan besar, yakni melindungi kepentingan publik sekaligus memperkuat fondasi keuangan daerah agar lebih mandiri secara fiskal.
“Menurutnya, investasi di bidang tambang harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial dan pembangunan infrastruktur yang adil. Kami tidak anti-investasi. Tapi investasi harus memberi manfaat nyata. Jalan perusahaan wajib dibangun, dan itu harga mati. Masyarakat sudah terlalu lama menanggung beban,” tegasnya.
Ke depan, DPRD Kalimantan Timur berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan jalan oleh perusahaan tambang serta mengawal regulasi yang berpotensi meningkatkan PAD daerah tanpa mengorbankan hak dan kepentingan masyarakat. (Adv)