Insitekaltim,Samarinda – Diklat Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kalimantan Timur (Kaltim) menghadirkan sesi yang menarik perhatian para peserta di working space S Caffe Samarinda pada Rabu (17/7/2024).
Darmawan Sepriyossa seorang jurnalis senior membawakan sesi ketiga dengan topik Reportase: Melawan ‘Jurnalisme Ludah’.
Darmawan membuka sesi dengan mengutip kata-kata inspiratif dari Henry Belk, redaktur harian Golsboro News-Argus, North Carolina, AS: ‘Make them see’. Pernyataan ini menekankan pentingnya jurnalisme yang dapat membuat pembaca melihat dan merasakan peristiwa yang dilaporkan, bukan sekadar menyampaikan pernyataan tanpa substansi.
Dalam paparannya, Darmawan menyoroti fenomena jurnalisme Indonesia yang semakin hari dirasa semakin kering dan membosankan. Ia mengkritik apa yang disebutnya sebagai “jurnalisme ludah” atau statement journalism, di mana berita hanya berisi pernyataan tokoh publik tanpa proses verifikasi yang memadai.
“Man make news,” ujar Darmawan.
“Tetapi ini tentu mensyaratkan jenis ketokohan tertentu, tidak sembarang orang,” sambungnya.
Mantan wartawan Tempo itu menegaskan pentingnya reportase dalam jurnalisme. “Reportase adalah bagian tak terpisahkan dari proses pembuatan berita,” ungkapnya.
Ia mengutip Farid Gaban, seorang wartawan senior, yang menekankan bahwa wartawan harus menggali dan memverifikasi fakta dari lapangan, sesederhana apa pun itu.
“Wartawan harus keluar dari balik meja atau ruang konferensi pers, mengalami sendiri, merekam hidup orang kebanyakan dan menyuarakan suara orang-orang yang kurang punya suara di media (voiceless),” tuturnya.
Darmawan juga menekankan pentingnya sikap skeptis dalam diri seorang wartawan. “Skeptisisme adalah motor penggerak keingintahuan dan modal utama seorang wartawan,” ujarnya.
Kolumnis Inilah.com itu juga mengungkapkan bahwa sikap skeptis inilah yang mendorong Farid Gaban meliput Perang Bosnia pada 1993 dan menuliskan pengalamannya dalam buku “Dor! Sarajevo”.
Farid Gaban, dalam kutipan yang disampaikan oleh Darmawan mengisahkan pengalamannya mencoba tidur di kolong jembatan, menyusuri Jakarta dengan sepeda motor dan naik KRL yang padat untuk memahami mengapa orang mempertaruhkan nyawa mereka.
“Keingintahuan dan kemarahan membantu kita menggali fakta lebih jauh dari sekadar statement, dan menuliskannya secara lebih meyakinkan dan berjiwa,” ujar Darmawan saat menukil Farid Gaban.
Melalui sesi ini, Darmawan Sepriyossa mengajak para peserta Diklat Jurnalistik 2024 Angkatan 1 JMSI Kaltim untuk kembali pada esensi jurnalisme yang sejati.
“Jurnalisme yang tidak hanya mengutip pernyataan, tetapi menggali, merasakan dan menyampaikan realitas dengan jiwa,” tambahnya.