
Insitekaltim, Samarinda – Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Darlis Pattalongi mengkritik keras dugaan pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan yang terjadi di Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda.
Ia menilai persoalan ini bukan semata urusan administratif, melainkan menyangkut martabat kemanusiaan para pekerja yang selama ini menjadi tulang punggung layanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Dalam keterangan kepada wartawan pada Selasa, 10 Juni 2025, Darlis mengungkapkan bahwa jumlah tenaga kerja dan eks-karyawan yang telah melapor mencapai sekitar 60 orang. Angka ini melonjak dua kali lipat dari laporan awal yang hanya berjumlah 30 orang. Namun ia menduga jumlah riil bisa lebih besar karena ada pekerja yang masih enggan membuka suara.
“Biasalah, ini kan badan usaha, pasti ada juga yang tidak berani mengadu. Tapi bagi kami bukan persoalan jumlah, ini soal kemanusiaan,” ujar Darlis.
Pengaduan terhadap manajemen RSHD pertama kali muncul pada pertengahan April 2025 dan telah dilayangkan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Timur, serta DPRD. Temuan awal menunjukkan adanya sejumlah praktik ketenagakerjaan yang bertentangan dengan regulasi, dan merugikan hak-hak dasar pekerja.
Komisi IV melalui rapat kerja yang digelar pada 29 April lalu menerima hasil pemeriksaan dari Disnakertrans Kaltim yang memuat daftar pelanggaran berat. Di antaranya, upah pekerja yang dibayarkan tidak tepat waktu, absennya kejelasan tentang sistem kerja lembur, tidak disediakannya kontrak kerja resmi, serta pelanggaran terhadap hak istirahat.
Selain itu, terdapat temuan potongan iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang tidak disetor ke lembaga terkait, serta pembayaran gaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Samarinda.
“Kami ingatkan, jangan sampai status mereka sudah tidak bekerja, haknya tidak dipenuhi, ijazahnya ditahan pula. Itu tidak manusiawi,” kata Darlis.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, mayoritas karyawan hanya menerima gaji pokok sekitar Rp3 juta. Mereka juga mendapatkan tunjangan fungsional sebesar Rp300 ribu dan tunjangan kehadiran Rp120 ribu, angka yang jauh dari standar kelayakan dan masih di bawah ketentuan UMK. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian pekerja diketahui belum memiliki nomor kepesertaan BPJS, meski iuran telah dipotong secara rutin dari gaji.
Disnakertrans Kalimantan Timur telah mengeluarkan dua nota pemeriksaan kepada pihak rumah sakit. Jika tidak ada tanggapan serius dari manajemen, maka kasus ini berpotensi dinaikkan ke tahap penyidikan pidana. Komisi IV pun mengingatkan bahwa pelanggaran serius ini bisa berujung pada pencabutan izin operasional RSHD.
Salah satu isu yang paling menyita perhatian publik adalah praktik penahanan ijazah oleh pihak manajemen, bahkan terhadap karyawan yang sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit tersebut.
“Kalau haknya belum dibayar dan ijazah ditahan, bagaimana mereka bisa cari kerja lagi? Ini harus segera diselesaikan,” ucap Darlis.
Komisi IV menegaskan bahwa sesuai hasil rapat, manajemen RSHD berkewajiban menyelesaikan semua hak pekerja aktif maupun yang telah berhenti. Itu mencakup pembayaran upah yang tertunda, penyetoran iuran BPJS yang telah dipotong, serta pengembalian dokumen-dokumen pribadi milik karyawan.
Darlis menyebut pihak rumah sakit sebelumnya sempat menjanjikan penyelesaian menyeluruh atas persoalan ini paling lambat Agustus 2025, dengan pendampingan dari Dinas Tenaga Kerja. Namun hingga pertengahan Juni, belum ada indikasi konkret bahwa proses penyelesaian itu telah dimulai.
“Kalau memang serius menyelesaikan, mestinya dari sekarang sudah mulai prosesnya. Jangan cuma janji,” tambahnya.
DPRD Kalimantan Timur, lanjutnya, akan terus mengawal kasus ini. Pihaknya berencana meminta laporan terbaru dari Disnaker, serta akan kembali memanggil manajemen RSHD bila komitmen penyelesaian pada Agustus mendatang tidak dipenuhi.
Sampai saat ini, DPRD belum menerima laporan dari kalangan dokter atau organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Fokus utama pengaduan masih berkutat pada kelompok perawat, tenaga administrasi, dan petugas fasilitas rumah sakit. Namun Komisi IV membuka kemungkinan untuk melibatkan BPJS dalam rapat kerja berikutnya apabila diperlukan.
Darlis menyatakan bahwa RSHD dulunya merupakan kebanggaan warga Samarinda, namun ia mengingatkan bahwa jika persoalan manajemen terus dibiarkan, rumah sakit tersebut berpotensi mendapat sanksi.
Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak menginginkan pencabutan izin operasional, tetapi hal itu bisa saja terjadi apabila pelanggaran terus berlangsung tanpa penyelesaian. (Adv)