Insitekaltim,Samarinda – Di era digitalisasi, metode pembayaran saat ini terus berkembang dan tak henti berinovasi guna memudahkan transaksi. Sejak kemunculan dompet digital atau e-wallet, satu per satu metode transaksi serupa bermunculan.
Masyarakat juga sudah tak asing dengan metode pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) atau standar kode respons cepat nasional.
QRIS diluncurkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia untuk mengintegrasikan seluruh metode pembayaran nontunai di Indonesia. QRIS dapat digunakan untuk semua smartphone dengan pemindai kode QR.

Tak perlu repot lagi membawa uang tunai, ketika hendak berbelanja, masyarakat hanya perlu melakukan pemindahan kode QR yang dimiliki pedagang dan belanjaan sampai di tangan.
Kemudahan ini pun telah menyebar hampir ke seluruh toko dan pedagang, termasuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Tak jarang ketika mengunjungi festival UMKM, jejeran barcode QRIS sudah tertera di tiap tenant.
Tetapi, ternyata tidak semua lapisan masyarakat fasih menggunakan dompet online atau membayar dengan metode scan QR. Metode pembayaran digital memang masih terus bertahap memasuki pasar. Respons pedagang yang didapati media Insitekaltim.com di lapangan beragam.
Datang dari Arum (37), pemilik UMKM bernama My Kitchen Samarinda. Tepat di samping dagangan kentang keringnya yang paling difavoritkan pembeli, terletak barcode QRIS yang menandakan kesertaan Arum dalam transformasi digital pembayaran.
Dirinya menyebut, antara metode pembayaran tunai dan QRIS atau metode pembayaran digital lainnya, ia paling menyukai pembayaran QRIS. Alasannya, dia tak perlu pusing memikirkan kembalian atau menghitung secara pasti uang dari pembeli.
“Kadang harus mikir kembalian lagi, uang kecil belum tentu ada,” ujarnya dalam pameran UMKM di halaman Kantor Pelayanan Pajak Pratama Samarinda Ilir.
Selain itu, selama menggunakan Qris, Arum mengaku tidak ada kesulitan berarti. Kecepatan pembayaran memang tergantung pada koneksi internet pada smartphone pembeli, namun dirasanya tidak ada keterlambatan pembayaran sejauh ini.
“Kita bisa ngecek pemasukan secara real time (saat itu juga). Jadi aman saja,” kata Arum soal keamanan metode pembayaran digital.
Berbeda hal dengan Nina (41) dengan produk andalannya Akar Sampai Wijen yang sudah digelutinya selama 20 tahun terakhir. Ia mengungkapkan bahwa masih belum terbiasa dengan pembayaran digital.
Walau sudah bergelut lama dengan usaha UMKM, Nina lebih menyukai pembayaran tunai. Tak pusing soal kembalian, justru Nina senang ketika harus memegang hasil jerih payahnya.
Salah satu alasan dirinya tak memilih metode pembayaran melalui QRIS sebagai kesukaannya, sebab terdapat potongan tertentu ketika terdapat transfer masuk sebesar Rp100 ribu.
“Kan kalau ada pembelian Rp100 ribu ada biayanya, kurang perhatikan (nominalnya) tapi tahu saya ada potongan,” sebutnya.
Untuk menyiasati hal ini, terkadang Nina meminta pembeli membayar dua kali apabila pembeliannya mencapai Rp100 ribu. Misal awal pembayaran Rp50 ribu dan kali keduanya dengan nominal yang sama agar tak terjadi potongan.
Selain itu, ia menyebutkan beberapa pelanggan didominasi oleh kalangan emak-emak yang juga belum familiar dengan QRIS. Pelanggannya itu masih lengket dengan pembayaran tunai.
“Sebenernya tergantung, tapi pembeli saya ibu-ibu juga masih banyak pakai cash (tunai),” tuturnya
Kedua pendapat ini menggambarkan meski perkembangan metode pembayaran digital terus bermunculan dengan segala inovasi hebatnya, masyarakat tidak langsung meninggalkan pembayaran tradisional.
Dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing dari alat pembayaran, pedagang juga terus berupaya mengikuti perkembangan zaman dan ini menjadi salah satu upaya untuk memudahkan transaksi ke depannya.