Reporter : Ina – Editor : Redaksi
Insitekaltim, Samarinda – Suasana ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda mendadak tegang pada Rabu (6/11/2019, lalu. Dimana terjadi aksi adu mulut Hakim Ketua R Yoes Hartyarso dan Ketua Bidang Advokasi dan lingkungan Hidup DPN Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Abdul Rahim.
Keduanya beradu mulut saat Hakim Yoes menunjukan surat saat sidang berlangsung dalam perkara 742/Pid.B/2019/PN.Smr padahal persidangan masih berjalan.
Rahim yang hadir dalam sidang itu langsung merespon. Dia mengatakan surat yang dikirim ke PN Samarinda terkait kekuasaan kehakiman, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat 1 menerangkan hakim dan hakim konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Menurut Rahim surat itu adalah representatif bagi para pencari keadilan karena itu bagian hak terdakwa yang tidak boleh di hilangkan dan Permahi menilai hakim tidak memeriksa sebagian alat bukti dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan yang dituduhkan kepada Achmad AR AMJ. Yang melapor adalah Cyahadi Guy.
Yoes mengatakan tak akan menanggapi dua surat yang dilayangkan kepadanya. Dia mempersilakan jika keberatan dengan hasil putusan maka sebaiknya menempuh jalur hukum.
Rahim membantah. Katanya, saksi yang dihadirkan JPU tak dibebani pembuktian. “Kami sudah layangkan dua surat, tapi tidak ada jawaban,” kata Rahim.
“Saya tidak ingin berdebat. Silahkan menempuh jalur hukum jika keberatan atas fakta persidangan, jangan intervensi sidang,” jawab hakim Yoes.
Rahim membantah tak pernah mengintervensi sidang Achmad atau sidang-sidang yang lainnya baik di lembaga peradilan mana pun. Karena itu, dirinya tak ingin ada opini yang sengaja digiring seolah-olah ada pihak yang mengintervensi kasus Achmad.
Bagi dia, ada kejanggalan dalam fakta persidangan sehingga berinisiatif menyurati hakim guna mendudukkan perkara agar tidak ada hak seseorang di hilangkan. Terdakwa, kata Rahim harus dalam keadaan merdeka apa pun yang dia ucap harus menjadi fakta persidangan, karena persidangan tempat menguji secara materil.
Menurut Rahim, hakim tak etis menyebut ada aktor intelektual terhadap terdakwa di karenakan terdakwa berani menyatakan kebenaran di persidangan, padahal persidangan itu tempat yang sangat mulia dan harus di isi oleh orang profesional, bukan mengedepankan sentimen terhadap seseorang.
Diketahui, dua kali Permahi Kaltim menyurati PN Samarinda. Surat pertama dilayangkan pada 22 Oktober 2019. Rahim mengklaim sempat mengkonfirmasi ke ketua pengadilan pada 31 Oktober 2019 di area PN Samarinda.
“Surat kami tersebut adalah dari lembaga wajib di balas secara bersurat dan kami tunggu hingga sekarang tidak di balas. Ada apa dan kenapa,” kata Rahim bertanya.
Bahwa isi surat pertama, Permahi meminta hakim menggali fakta sidang. Ada banyak informasi yang disampaikan saksi Achmad dan JPU namun tak digali lebih dalam.
“Ada keterangan saksi yang menyebut dakwaan JPU palsu. Hakim silahkan menggali lebih jauh keterangan itu. Juga membebankan pembuktian kepada saksi. Biar tidak ada kesan menghalangi fakta persidangan,” terang Rahim.
Karena, menurut Rahim ruang sidang adalah tempat menguji materiil fakta – fakta demi mewujudkan keadilan. Permahi juga melampirkan 10 alat bukti dalam surat pertamanya.
Tak ada balasan, Permahi kembali menyurati kedua, pada 4 November 2019. dan waktu itu kami langsung menghadap ke ketua PN saat itu dan memberi tugas untuk membalas surat kami namun hingga detik ini tidak di balas, bahwa Isinya menegaskan surat pertama. Meminta agar hakim menggali keterangan saksi.
Rahim mencontohkan kesaksian Lisia yang dihadirkan JPU. Lisia justru menyebut dakwaan JPU palsu. “Hakim harus menggali ini,” tegasnya.
Hakim perlu menggali, mengikuti dan memahami alat bukti yang diserahkan terdakwa dan jaksa. Hakim harus membacakan kesaksian RT 31 dalam hasil putusan PTUN.
Hakim juga diminta mencocokan fotocopy surat pernyataan RT dengan hasilnya untuk diperiksa dalam fakta persidangan.
Hakim harus membacakan BAP saksi JPU, yang bernama Lisia untuk diperiksa dan menjadikan fakta persidangan.
Hakim juga diminta memutar video kesaksian RT dimuka sidang. Hakim diminta menunjukkan dalam persidangan tanda paraf milik RT Djamaluddin dan tanda tangan nya untuk diperiksa.
Hakim juga diminta menunjukkan dimuka persidangan apa yang dijadikan pembanding dalam hasil lab, yang dilakukan penyidik polres dengan nomor lab 7791/DTF/2018 tertanggal 10 September 2018, untuk diperiksa dalam fakta persidangan.
Hakim diminta memanggil kembali saksi JPU dan saksi terdakwa diperlukan klarifikasi yang komprehensif.
Sayangnya, kedua surat tersebut tak dibalas PN Samarinda.
Hakim Yoes mengatakan tak akan menanggapi dua surat tersebut.
“Jika keberatan dengan fakta dan putusan maka silahkan tempuh jalur hukum,” kata Yoes.
Kami melihat hakim ini sangat emosional dan tidak mencerminkan wakil tuhan, masa surat untuk membuat terang kasus demi hak pencari keadilan di bilangin intervensi, padahal tidak ada niatan untuk mengintervensi, namun ketika saya tanya balik intervensi di bagian mana hakim justru tidak bisa menjawab, saya sangatlah keberatan dengan pernyataan hakim yang tidak bertanggung jawab dan jangan membagun opini jahat
“Kalau hakim tidak bisa membuktikan ucapannya, maka kuat diduga hakim ini adalah oknum hakim atau antek mafia tanah, sehingga saya akan laporkan prilaku oknum hakim ini ke Mabes Polri dengan pasal 311 KHUP,” tambah Rahim.