Insitekaltim, Samarinda – Lubang tambang kembali memakan korban. Korban ke-34 atas nama Natasya Aprilia Dewi, diduga tenggelam di lubang bekas galian tambang di daerah Palaran, Samarinda pada Rabu (29/05/2019). Hal ini membuat banyak pihak angkat bicara, salah satunya praktisi hukum Kota Samarinda.
Ditemui insitekaltim di Jl. M. Yamin Samarinda, Sabtu malam (01/06/2019), Bernard Marbun, SH., mengungkapkan bahwa korban yang semakin bertambah dianggap sebagai salah satu akibat dari tidak adanya tindakan konkrit dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
“Ini sudah keterlaluan, sampai pada korban ke-34 tidak ada tindakan konkrit dan juga tidak tegas dari Pemerintah pada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini,” ungkapnya pada insitekaltim.
Ia menegaskan bahwa dalam perspektif hukum sangat jelas meninggalkan lubang bekas galian tambang adalah bentuk dari pelanggaran berat. Dia juga menjelaskan ketika pemegang IUP Ekplorasi dan IUPK Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Seharusnya lubang-lubang bekas galian tambang batu bara tersebut sudah dilakukan reklamasi (penimbunan lubang bekas tambang), itu sudah tertuang di dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang berbunyi bahwa pemegang IUP & IUPK ekplorasi maupun pemegang IUP & IUPK produksi wajib melaksanakan reklamasi,” lanjutnya.
Selain itu, Bernard menambahkan jika tambang selesai beroperasi dan menyisakan lubang bekas galian, maka dapat disimpulkan tidak adanya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan juga lemahnya pengawasan dari pemerintah mengenai masalah ini.
“Jika aturan ditegakkan maka tidak akan ada perusahaan tambang yang pasca menambang meninggalkan lubang galian tambangnya, karena rencana reklamasi dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. Jika sampai menyisakan lubang-lubang tambang pasca penambangan yang belum direklamasi, maka dapat disimpulkan bahwa sangat lemahnya penegakan peraturan perundang-undangan mengenai reklamasi dan pasca tambang,” tegasnya.
Maka dari itu, Bernard berharap pemerintah daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyelesaikan permasalahan lubang tambang yang selalu mengancam jiwa warga sekitar lubang tambang.
“Mengutuk atau pun prihatin dan berbela sungkawa saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan ini, dibutuhkan konsentrasi ataupun perhatian khusus yang termaktub di dalam program-program untuk menanggulangi jatuhnya korban lubang tambang lebih banyak lagi serta pemerintah harus tegas dalam menegakkan aturan, mengawasi, serta memastikan pengusaha tambang yang mengantongi izin dan masih aktif mengekplorasi bumi kalimantan timur agar menjalankan kewajibanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tutupnya. (Renalt)