
Insitekaltim, Samarinda – Isu kesehatan di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi perhatian serius Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Hartono Basuki. Dalam wawancara di ruang kerjanya di Kantor DPRD Provinsi Kaltim, Senin, 30 Juni 2025, Hartono menyoroti berbagai persoalan mendasar yang masih dihadapi masyarakat, khususnya di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) sebagai kawasan penyangga utama IKN.
Menurut Hartono, salah satu persoalan utama adalah masih terbatasnya tenaga kesehatan, khususnya dokter dan dokter spesialis yang bersedia bertugas di wilayah PPU.
“Kalau bicara tenaga kesehatan, termasuk dokter dan dokter spesialis, jumlahnya masih sangat terbatas. Mereka juga harus didukung dengan peralatan medis yang memadai dan sesuai standar,” ujarnya.
Hartono menekankan bahwa pembangunan fasilitas kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama, apalagi di tengah perkembangan pesat pembangunan IKN.
“Fasilitasnya dulu yang perlu dibangun dan dilengkapi. Kalau tidak, kita akan kesulitan menarik tenaga medis profesional ke daerah-daerah penyangga, apalagi ke desa-desa,” katanya.
Ia juga menyinggung upaya pemerintah daerah yang sempat memberikan beasiswa pendidikan kedokteran kepada sejumlah anak daerah dengan harapan mereka akan kembali mengabdi di kampung halaman. Namun kenyataannya, tak semua lulusan bersedia kembali.
“Kita memang sempat menyekolahkan anak-anak daerah. Tapi kan tidak semuanya mau balik. Meskipun ada MoU (perjanjian), tetap saja banyak yang memilih jalan lain. Ini juga jadi kendala,” jelas Hartono.
Ia menambahkan bahwa minimnya fasilitas, insentif, dan lingkungan kerja yang ideal menjadi alasan utama mengapa banyak tenaga medis enggan mengabdi di daerah.
“Kita belum bisa memfasilitasi perlengkapan medis yang lengkap. Kalau alatnya tidak ada, ya dokternya juga enggan kerja di situ,” ujarnya.
Selain persoalan tenaga medis, Hartono juga menyinggung isu sosial yang turut berdampak pada kesehatan masyarakat, yakni keberadaan pekerja seks komersial (PSK) di sekitar kawasan IKN. Menurutnya, kemunculan PSK menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam kaitannya dengan potensi penyebaran penyakit menular.
“Isu PSK ini agak sulit, karena ketika ada peluang ekonomi dan wilayah yang berkembang pesat, berbagai sektor informal juga masuk. Ini sudah jadi dinamika di daerah,” jelas Hartono.
Ia menyebut bahwa pemerintah daerah memang telah melakukan sejumlah upaya penertiban, namun keterbatasan kewenangan dan mobilitas para PSK menjadi hambatan tersendiri.
“Di daerah sudah dilakukan penertiban. Tapi ya tidak bisa dilakukan setiap hari, karena mereka tidak menetap di satu tempat. Sekarang pun banyak yang beroperasi secara online, jadi semakin sulit dilacak,” ujarnya.
Hartono mengajak semua pihak, termasuk pemerintah provinsi dan otoritas IKN, untuk bersinergi dalam menyusun kebijakan kesehatan yang menyeluruh, termasuk mengantisipasi dampak sosial yang muncul akibat pembangunan.
“Kita tidak bisa bicara IKN hanya soal infrastruktur dan gedung megah. Kesehatan masyarakat, tenaga medis, dan risiko penyakit dari berbagai sektor informal juga harus jadi perhatian,” pungkasnya.