Insitekaltim, Bontang – Angka stunting di Kota Bontang dinilai sulit ditekan akibat lemahnya standarisasi dalam pengukuran dan pencatatan data di lapangan. Anggota DPRD Bontang Muhammad Yusuf mengungkapkan bahwa kader-kader kesehatan yang bertugas menimbang dan mencatat data stunting masih mengalami kebingungan akibat belum adanya standar seragam dalam penentuan status stunting pada anak-anak.
Yusuf menjelaskan bahwa belum ada panduan yang konsisten mengenai batasan berat dan tinggi badan yang pasti untuk mendefinisikan status stunting di Bontang. Ketiadaan standar ini berakibat pada hasil pengukuran yang beragam antara satu posyandu dan posyandu lainnya, sehingga data yang tercatat tidak bisa merepresentasikan kondisi sebenarnya.
“Semua kader harus memiliki standar yang sama dalam menentukan apakah seorang anak tergolong stunting atau tidak. Misalnya, jika di bawah berat tertentu baru dikatakan stunting, dan itu harus diterapkan seragam. Saat ini, standarnya belum jelas, jadi hasilnya cenderung acak,” ungkap Yusuf dalam pernyataannya beberapa hari lalu.
Yusuf juga menyoroti alokasi anggaran sebesar Rp3 miliar dari total Rp27 miliar anggaran kesehatan di Bontang yang dirasa belum memadai untuk menekan angka stunting. Sementara sebagian besar anggaran kesehatan, sebesar Rp24 miliar, dialokasikan untuk program BPJS, penanganan stunting hanya menerima porsi kecil.
“Dana untuk stunting masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan di lapangan. Dengan dana yang terbatas, tentu upaya menekan angka stunting juga terbatas,” ujar Yusuf.
Dalam hal ini, Yusuf juga menyarankan agar alokasi anggaran dan pelaksanaan program kesehatan ditinjau ulang. Menurutnya, perlu adanya strategi yang lebih tepat agar dana yang terbatas dapat lebih efektif dimanfaatkan.
Tidak hanya pada standarisasi dan anggaran, Yusuf juga menyoroti rendahnya insentif bagi kader yang bertugas di posyandu. Saat ini, kader kesehatan hanya menerima insentif sebesar Rp150 ribu per bulan, yang diterima setiap tiga bulan sekali. Insentif yang minim ini dikhawatirkan memengaruhi semangat para kader dalam menjalankan tugas.
“Kader kesehatan di posyandu kasihan sekali, mereka hanya mendapat Rp150 ribu per bulan, dan itu pun dibayarkan per tiga bulan. Kondisi ini membuat mereka jadi kurang semangat,” kata Yusuf.
Ia mengusulkan agar insentif kader ditingkatkan demi menjaga kualitas data dan semangat para kader yang berada di garda depan pencatatan kasus stunting. Yusuf meyakini bahwa motivasi kader juga berperan dalam keberhasilan program stunting di daerah.
Selain persoalan teknis di lapangan, Yusuf juga menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menimbang anak secara rutin. Menurut data Dinas Kesehatan Bontang, angka stunting dapat turun jika lebih dari 80 persen masyarakat rutin melakukan penimbangan di posyandu. Namun, sejauh ini kesadaran tersebut masih minim.
“Semakin banyak yang menimbang anaknya, angka stunting bisa turun. Namun sayangnya, kesadaran masyarakat masih rendah,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf, selain perbaikan standar dan dukungan finansial, peningkatan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak juga perlu terus dilakukan. Ia berharap masyarakat dapat lebih proaktif mendukung program kesehatan ini.
“Jangan kita selalu menjadi beban pemerintah, sekali-kali kita bantu pemerintah,” tutup Yusuf.