Insitekaltim,Sangatta – Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Sengketa Lahan antara Kelompok Tani Karya Bersama dan PT Indominco Mandiri terus berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi petani di Kutai Timur.
“Kasus ini telah berlangsung selama hampir 20 tahun, dimulai sejak tahun 2005, karena selama ini Indominco tidak mau terbuka terkait sengketa lahan yang diklaim oleh Kelompok Tani Karya Bersama,” ucap Basti Sangga Langi, Anggota DPRD Kutai Timur, Selasa (24/10/2023).
“Awalnya, kelompok tani bersama telah mengklaim 2.750 hektare lahan yang diklaim oleh Indominco. Perusahaan berdalih bahwa hanya 300 surat artinya hanya 600 hektare yang dapat mereka bayar setelah verifikasi inventarisasi pemerintah,” sambungnya.
Dengan alasan sebagian lahan tidak ada tanam tumbuh. Padahal menurut tim inventarisasi sebelumnya mencatat bahwa lahan tersebut memiliki tanam tumbuh dan telah digunakan untuk pertambangan.
Pertemuan pertama dengan perusahaan tidak berhasil, tetapi pada pertemuan berikutnya, pihak petinggi Indominco yang ada di Jakarta hadir untuk memaparkan klaim mereka berdasarkan hasil inventarisasi Pemerintah Kabupaten Kutim.
“Kelompok tani itu tidak menerima karena tidak sesuai dengan apa yang mereka tuntut,” ucapnya.
Tindakan dari Direktorat Jendral Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) akan diambil 30 Oktober terkait dengan laporan kelompok tani mengenai 960 hektare lahan di luar konsesi yang telah ditambang oleh Indominco. Ini akan menjadi momen penentuan untuk melihat apakah laporan tersebut valid atau tidak.
Kasus ini juga melibatkan aspek izin yang berkaitan dengan konsesi tambang. Perusahaan dikritik karena tidak mematuhi ketentuan yang menuntut penyelesaian perselisihan dengan masyarakat sebelum melakukan penggusuran dan mencabut tanam tumbuh.
“Banyak anggota kelompok tani telah meninggal selama 20 tahun berlalunya konflik ini,” ungkapnya.
Dalam upaya menyelesaikan masalah ini, harapan terletak pada Tim Minerba yang akan turun ke lapangan. Transparansi dan keadilan diharapkan menjadi fokus mereka. Jika perusahaan terbukti bersalah, sanksi harus diberlakukan, termasuk kemungkinan tindakan hukum.
“Yang terpenting adalah agar masyarakat yang terkena dampak konflik ini dapat dijamin hak-haknya,” harapnya.
Kelompok tani menuntut kompensasi sekitar Rp258 miliar dengan luas lahan 2.750 hektare dan jumlah masyarakat sekitar 2.000 orang, sebagian di antaranya telah meninggal. Kesanggupan perusahaan untuk membayar hingga saat ini hanya sekitar Rp1,8 miliar, yang jauh dari tuntutan yang diajukan oleh kelompok tani.
“Maksud saya dari Rp1,8 miliar itu kira-kira perusahaan sanggup menaikkan berapa supaya bisa nego. Tapi perusahaan hanya mengacu pada apa yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat bahwa hasil inventarisasi 300 surat itulah yang dibayarkan perusahaan,” tandasnya.