Insitekaltim,Samarinda – Kepala Bidang Pemerintah dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Kabid PPM Bappeda Kaltim) Mispoyo menjelaskan terkait integrasi isu gender ke dalam dokumen lima tahunan di lingkup kecamatan dan kelurahan se-Samarinda.

Hal tersebut dipaparkannya dalam acara Penyusunan Informasi Geospasial Gender Tematik Tahun 2024 yang diinisiasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Kota Samarinda yang menghadirkan perwakilan dari 59 kelurahan dan 10 kecamatan se-Samarinda di Ballroom Hotel Aston Samarinda, Rabu (26/6/2024).
Mispoyo menjelaskan terdapat empat langkah dalam pengintegrasian isu gender ke dalam dokumen. Pertama, mengimplementasikan isu atau masalah gender di lingkungan kerja masing-masing. Kedua, mengimplementasi faktor-faktor penyebab dari isu atau masalah gender.
Langkah ketiga, dilakukannya penyusunan rencana terhadap dampak/impact, hasil/outcome, keluaran/output, aktivitas dan input data. Langkah keempat, implementasi dari langkah ketiga dapat diterapkan di kementrian, lembaga, unit organisasi yang relevan.
Mispoyo menyampaikan terdapat banyak peran kelurahan dan kecamatan dalam pembangunan daerah yang responsif gender. Ia menjabarkan mulai dimulai dari kantor kelurahan dan kecamatan itu sendiri. Di mana harus terdapat ruang laktasi, toilet yang ramah perempuan, anak, lansia dan disabilitas, serta kulkas untuk menyimpan ASI bagi ibu menyusui.
“Di kantor harus memiliki kulkas, jangan sampai tidak. Untuk responsif gender setiap instansi harus memiliki ruang laktasi dan terutama harus ada kulkas. Setidaknya kulkas ini untuk menyimpan ASI, kalau si ibunya menyusui dan harus memberikan ASI-nya saat itu juga tetapi harus bekerja jadi bisa disimpan di kulkas sebelum dikirimkan ke rumah,” jelasnya.
“Soal toilet juga. Perempuan kan memiliki tamu bulanan (haid), jadi sangat memerlukan toilet yang nyaman untuk membersihkan diri,” sambungnya.
Serupa dengan kantor kecamatan dan kelurahan, Mispoyo menegaskan pentingnya kelengkapan sarana dan prasarana (sarpras) di sekolah. Ia mengambil contoh seperti UKS, yang harus menyediakan pembalut khusus wanita. Hal itu bisa dibantu oleh kelurahan atau kecamatan untuk membantu mengimbau sekolah di lingkup masing-masing.
“Jangan sampai anak-anak perempuan yang sedang sekolah ini saat datang tamu bulanannya harus pulang karena di sekolah tidak disediakan. Misal membeli di warung, ternyata tidak ada, anak ini harus lepas pembelajarannya hanya karena sekolah tidak menyediakan pembalut,” ungkapnya.
Indeks Pembangunan Gender dapat meningkat di daerah sebab terpenuhinya sarpras yang responsif di tiap lingkup kerja dan pusat-pusat layanan. Saat ini, Mispoyo mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan sarpas yang ramah perempuan.
Indeks Pembangunan Gender diformulasikan untuk mengetahui presentase jumlah partisipasi laki-laki dan perempuan dalam setiap instansi atau lembaga baik kegiatan formal maupun nonformal, termasuk di kelurahan dan kecamatan.
“Setiap ada absensi akan dilihat ada berapa laki-laki dan berapa perempuan. Jadi bisa diketahui berapa jumlahnya dan sudah terpisah antara kolom absensi untuk perempuan dan laki-laki bagi tanda tangannya,” tutupnya.
Ia berharap dengan kegiatan tersebut kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam setiap sektor, bidang serta industri di pemerintahan.
“Dengan adanya acara Geospasial Gender Tematik ini harapannya kesenjangan laki-laki dan perempuan bisa berkurang. Bahkan penjara juga harus dideteksi jumlah laki-laki dan perempuan, lokasi di mana, supaya penjara bisa lebih aman perempuan,” pungkasnya.