Insitekaltim, Pasuruan — Pemilik rumah indekos di Kelurahan Wirogunan, Kota Pasuruan yakni bernama Donik mengaku mendapat perlakuan tidak adil saat proses penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) beberapa waktu lalu.
Ia menilai tindakan petugas dilakukan tanpa prosedur yang jelas dan disertai sikap kurang sopan.
“Merasa dipojokkan dan tidak diberi kesempatan menjelaskan. Saat penertiban, petugas datang mendadak tanpa pemberitahuan, berbicara dengan nada tinggi, dan membuat para penghuni kos ketakutan,” ungkapnya pada Rabu, 13 November 2025.
Donik juga merasa tidak diberi ruang untuk menjelaskan situasi sebenarnya dalam pertemuan pembahasan tindak lanjut di kantor kelurahan.
Beberapa penghuni kos turut membenarkan suasana tegang saat penertiban berlangsung. Mereka berharap aparat dapat bersikap lebih sopan dan komunikatif dalam menjalankan tugas.
Lurah Wirogunan, Fitriya menjelaskan pertemuan antara pemilik kos dan pihak Satpol PP telah dilakukan.
Dalam kesempatan itu, Donik disebut telah menyampaikan permintaan maaf dan berkomitmen mengurus izin pemondokan sesuai ketentuan.
“Pemilik kos sudah meminta maaf dan akan mengurus izin sesuai ketentuan. Pihak kelurahan akan membantu pendampingan agar prosesnya berjalan dengan baik,” jelasnya.
Pihak Kelurahan Wirogunan berharap persoalan ini dapat diselesaikan secara baik melalui komunikasi terbuka antara pemilik kos dan aparat.
“Situasi diharapkan tetap kondusif. Semua pihak perlu saling menghormati agar hubungan di lingkungan terjaga dengan baik,” terangnya.
Hal senada disampaikan Roy Sidharta Wijiyanto, salah satu petugas Satpol PP yang hadir dalam pertemuan tersebut.
“Sudah ada pertemuan dan pihak pemilik kos menyampaikan permintaan maaf serta siap mengurus perizinan,” tambahnya.
Merespon kejadian itu, Praktisi Hukum, Ridwan Vatarudin menilai tindakan aparat yang terkesan arogan perlu menjadi perhatian serius.
Ia menegaskan bahwa penegakan peraturan daerah tetap harus mengedepankan prosedur hukum dan etika pelayanan publik.
“Satpol PP memang berwenang menertibkan pelanggaran perda, tetapi kewenangan itu tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang. Jika dilakukan tanpa dasar hukum atau dengan cara yang menimbulkan ketakutan, tindakan tersebut bisa dianggap melampaui kewenangan,” tegasnya.
Ridwan menjelaskan, selain berpotensi melanggar disiplin ASN, tindakan aparat yang disertai kekerasan verbal atau pemaksaan masuk ke properti warga tanpa izin yang sah juga dapat menimbulkan implikasi pidana tergantung bentuk perbuatannya.
“Jika dalam penertiban terdapat unsur pemaksaan atau ancaman, hal itu dapat dikaji dalam konteks Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, atau Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat,” jelasnya.
Ia menambahkan, Pasal 421 KUHP yang menyebutkan pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu dapat diancam pidana penjara hingga dua tahun delapan bulan.
“Ini bukan tuduhan, melainkan bentuk kehati-hatian agar aparat memahami batas kewenangan. Semua tindakan pemerintah harus berbasis hukum, bukan sekadar perintah lisan atau interpretasi sepihak,” ujarnya.
Selain aspek pidana, Ridwan juga menyoroti potensi pelanggaran hak atas privasi jika petugas memasuki area privat tanpa surat tugas resmi.
“Dalam konteks hukum modern, pelanggaran privasi warga dapat digugat secara perdata atau dilaporkan ke Ombudsman. Karena itu, aparat perlu berhati-hati agar penegakan aturan tidak berubah menjadi pelanggaran hukum,” katanya.
Ia menekankan pentingnya pendekatan persuasif dan humanis dalam setiap kegiatan penertiban.
“Penegakan hukum harus membuat masyarakat merasa aman, bukan takut. Tugas Satpol PP adalah menertibkan dengan cara beradab, bukan menekan,” tutupnya.

