
Insitekaltim, Samarinda – Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur Sarkowi V Zahry menyoroti tantangan implementasi Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) yang dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
Meskipun sejumlah perusahaan tambang di Kalimantan Timur telah berhasil meraih predikat Proper emas, konflik sosial dengan masyarakat di sekitar area tambang terus bermunculan dan menjadi catatan kritis dalam forum evaluasi.
Sorotan itu mencuat dalam rapat kerja Komisi IV DPRD Kaltim bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), serta enam perusahaan tambang besar, yang berlangsung di Ballroom Platinum Hotel dan Convention Hall Balikpapan pada Rabu, 23 Juli 2025.
Agenda utama forum tersebut ialah mengevaluasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, dan persoalan ketenagakerjaan.
Rapat dipimpin oleh Sekretaris Komisi IV, Darlis Pattalongi, dan dihadiri Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud, Ketua Komisi IV Baba, serta anggota komisi lainnya,Sarkowi V. Zahry, Agus Aras, Agusriansyah Ridwan, dan Syahariah Mas’ud.
Enam perusahaan yang terlibat dalam forum ini antara lain PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung, PT Indomining, PT Trubaindo Coal Mining, PT Energi Unggul Persada, dan PT Kutai Sawit Mandiri.
Dalam rapat tersebut, Sarkowi menyampaikan bahwa capaian administratif melalui PROPER belum mampu menggambarkan kompleksitas persoalan sosial dan lingkungan yang dihadapi masyarakat sekitar tambang.
Ia menggarisbawahi pentingnya menguji kembali efektivitas indikator penilaian Proper yang selama ini lebih menonjolkan pendekatan dokumen dan laporan dibanding kenyataan yang terjadi di lapangan.
“Tantangannya adalah apakah Proper benar-benar mampu meningkatkan pengelolaan lingkungan. Kita butuh ukuran yang jelas dan komitmen nyata di lapangan,” ujarnya.
Pernyataan itu menegaskan kekhawatiran para legislator mengenai jurang antara prestasi di atas kertas dengan realitas yang dialami masyarakat terdampak.
Tidak jarang, perusahaan tambang mendapat penghargaan atas kinerja lingkungannya, sementara di sisi lain, warga sekitar mengeluhkan polusi udara, gangguan kesehatan, hingga minimnya keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan lingkungan.
Situasi ini diperparah oleh lemahnya komunikasi antara pihak perusahaan dan masyarakat, serta terbatasnya ruang partisipasi publik dalam tahapan evaluasi dan penilaian Proper.
Sarkowi memandang bahwa keberhasilan sebuah perusahaan dalam pengelolaan lingkungan seharusnya bukan semata-mata ditentukan oleh parameter teknokratis, tetapi juga oleh sejauh mana perusahaan mampu membangun hubungan harmonis dengan masyarakat dan menuntaskan persoalan sosial yang muncul dari aktivitas industrinya.
Ia menegaskan bahwa Komisi IV DPRD Kaltim mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap metode penilaian Proper, agar lebih adaptif terhadap dinamika lokal dan membuka ruang dialog yang lebih luas antara perusahaan dan komunitas terdampak.
Penyesuaian ini dinilai penting untuk menjamin bahwa pengakuan terhadap kinerja lingkungan tidak menjadi legitimasi semu atas ketimpangan yang berlangsung di wilayah operasi.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa konflik sosial masih kerap terjadi di sekitar lokasi tambang, meskipun perusahaan tersebut mengantongi Proper emas. Ini harus menjadi koreksi bersama,” kata Sarkowi.
Dukungan terhadap upaya penajaman indikator Proper juga datang dari sejumlah anggota komisi lainnya. Mereka menekankan perlunya keterlibatan aktif pemerintah daerah dalam mendampingi masyarakat menghadapi perusahaan, sekaligus mengawasi pelaksanaan CSR agar tidak menjadi program seremonial semata.
Melalui forum ini, DPRD berharap ke depan Proper tidak hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga alat transformasi yang mengikat perusahaan untuk benar-benar bertanggung jawab atas dampak lingkungannya secara menyeluruh. (Adv)