
Insitekaltim,Samarinda – Konflik terkait kepemilikan lahan di Jalan Rapak Indah, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda kembali mencuat ke permukaan. Setelah lebih dari dua dekade berlalu sejak proyek jalan umum dilakukan, warga yang merasa lahannya diambil tanpa kompensasi kini menuntut kejelasan dan ganti rugi dari pemerintah.
Setelah berbagai demonstrasi yang dilakukan warga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melalui Komisi I merespons dengan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama warga dan berbagai pihak terkait, guna mencari solusi atas masalah yang berlarut-larut ini.
Persoalan di Jalan Rapak Indah bermula pada tahun 1995 ketika pemerintah memutuskan untuk mengembangkan jalan tersebut menjadi jalan umum. Sejumlah warga yang telah lama menggunakan jalan di area tersebut untuk berkebun merasa hak mereka diabaikan, sebab proyek tersebut dilakukan tanpa komunikasi atau persetujuan dari mereka.
Meski warga telah berupaya meminta ganti rugi sejak 1995 hingga 2002, belum ada kepastian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pemberian kompensasi.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Hotel Mesra Samarinda pada Kamis (8/7/2024) turut melibatkan berbagai pihak, termasuk Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kaltim, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda serta Kabag Hukum Kota Samarinda Asran Yunisran.
Dalam pertemuan tersebut, Kabag Hukum Kota Samarinda menyebutkan bahwa berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemkot Samarinda pada tahun 2017, status kepemilikan lahan tersebut adalah milik Pemkot Samarinda. Namun, pembangunan jalan yang dilakukan oleh PUPR Pemprov Kaltim pada tahun 1995. Hal ini menimbulkan kebingungan terkait pihak yang bertanggung jawab. Kuasa hukum warga, Harianto Minda menegaskan bahwa warga telah menggunakan lahan di Jalan Rapak Indah sejak 1965.
“Mereka telah bertahun-tahun menggunakan lahan ini dan kini merasa dirugikan karena hak mereka diambil tanpa adanya ganti rugi,” ungkapnya.
Namun, Asran Yunisran menyarankan agar persoalan ini dibawa ke ranah pengadilan untuk memperjelas status hukum sebelum kompensasi diberikan.
“Kami tidak bisa serta merta membayar sesuatu yang belum jelas statusnya. Jalur hukum adalah langkah terbaik untuk memastikan keadilan bagi semua pihak,” kata Asran.
Pendekatan ini dipertanyakan oleh Ketua Komisi I DPRD Kaltim Baharuddin Demmu, yang berpendapat bahwa masalah ini seharusnya dapat diselesaikan tanpa perlu melibatkan pengadilan, terutama karena tidak ada konflik kepemilikan yang signifikan.
Ia juga meminta warga dan kuasa hukum mereka untuk segera mendata lahan-lahan tersebut dan mengumpulkan dokumen kepemilikan sebagai syarat untuk mendapatkan peta bidang dari BPN yang akan menjadi dasar untuk proses ganti rugi.
Rapat Dengar Pendapat yang berlangsung alot ini menghasilkan beberapa langkah lanjutan, termasuk verifikasi dokumen kepemilikan lahan oleh warga di tingkat kelurahan, pemasangan patok di lahan yang bersangkutan dan penyusunan peta bidang oleh BPN.
Baharuddin Demmu menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengabaikan hak warga jika terbukti lahan tersebut memang milik masyarakat.
“Jika seluruh proses menyatakan kebenaran ini milik lahan rakyat yang dipakai untuk proyek pemerintah, tidak ada kata untuk tidak dibayar,” ungkap Baharuddin.