Insitekaltim, Samarinda – Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur masih menjadi persoalan serius. Berdasarkan data aplikasi SIMFONI PPA hingga 31 Oktober 2024, tercatat sebanyak 810 kasus kekerasan.
Kota Samarinda menjadi daerah dengan kasus tertinggi, yakni 198 kasus, disusul Kota Balikpapan (140 kasus) dan Kota Bontang (116 kasus). Kabupaten dengan kasus terendah adalah Mahakam Ulu, dengan hanya 4 kasus yang tercatat.
Peningkatan kasus ini menjadi perhatian utama dalam Deklarasi Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang digelar di Pendopo Odah Etam, Komplek Gubernur Kaltim, Selasa (3/12/2024).
Pejabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur Akmal Malik menegaskan pentingnya memahami akar permasalahan sebelum mengambil langkah penanganan.
“Kita tidak bisa hanya menjadi tempat penampungan masalah. Harus ada pemetaan masalah yang mendalam untuk menemukan solusi yang tepat,” ujar Akmal.
Ia menyoroti bahwa langkah-langkah yang selama ini dilakukan masih sangat konvensional dan cenderung kurang efektif.
“Program yang dijalankan selama ini hanya bersifat kuratif dan tidak menyentuh akar masalah. Misalnya, mengurus korban saja tanpa mencari tahu penyebab utama terjadinya kekerasan. Jika ini terus dilakukan, kita hanya menjadi ‘tukang tampung masalah’ tanpa memberikan solusi nyata,” jelas Akmal.
Akmal meminta DKP3A untuk memulai langkah deteksi akar masalah, seperti memahami hubungan antara kekerasan dengan tingkat kemiskinan, pendidikan dan kurangnya ruang publik.
“Pendekatan konvensional harus kita ubah menjadi kolaborasi yang sinergis, di mana berbagai pihak bekerja bersama untuk menuntaskan masalah ini,” tambahnya.
Dengan kasus tertinggi yang tercatat di Samarinda, pemerintah daerah didorong untuk segera mengambil tindakan nyata. Data menunjukkan bahwa kawasan perkotaan cenderung menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan, diduga akibat tekanan sosial dan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan.
Akmal juga menekankan bahwa pemetaan masalah harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk mengidentifikasi faktor seperti kepadatan penduduk, minimnya ruang publik, hingga keterbatasan layanan sosial.
“Di Samarinda, apakah karena ruang publik yang terbatas sehingga anak-anak tidak memiliki tempat bermain, atau karena tekanan ekonomi yang tinggi? Semua ini harus dianalisis lebih dalam,” ujarnya.
Seminar yang berlangsung bersamaan dengan deklarasi ini mengangkat tema “Membangun Ketahanan Keluarga Guna Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”. Para peserta sepakat bahwa ketahanan keluarga adalah kunci untuk mencegah terjadinya kekerasan.
“Ruang publik yang memadai, kondisi ekonomi yang stabil dan pendidikan yang baik adalah elemen utama dalam membangun ketahanan keluarga,” kata Akmal.
Ia juga menyoroti pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas anak-anak di luar rumah, sehingga mereka tidak hanya bergantung pada perangkat elektronik yang sering menjadi pemicu frustrasi dalam keluarga.
Deklarasi ini diharapkan menjadi titik awal untuk gerakan yang lebih kolaboratif di Kalimantan Timur. Dengan pendekatan berbasis data dan analisis masalah yang mendalam, provinsi ini diharapkan dapat mengurangi angka kekerasan secara signifikan di masa depan.
“Jangan hanya mengobati luka, kita harus mencegah agar kekerasan tidak terjadi lagi. Itu adalah tugas kita bersama. Kolaborasi lintas sektor adalah kuncinya,” tutup Akmal.