
Insitekaltim, Samarinda – Isu pemerataan pembangunan kembali mengemuka dalam forum resmi pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalimantan Timur.
Anggota Panitia Khusus DPRD Kaltim, Agusriansyah Ridwan, menaruh perhatian serius terhadap kondisi wilayah pedalaman di Kutai Timur yang masih tertinggal dalam berbagai aspek dasar pembangunan.
Dalam rapat finalisasi RPJMD bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Timur pada Jumat, 25 Juli 2025, Agusriansyah secara tegas menyuarakan keresahannya terhadap kawasan-kawasan yang hingga kini belum tersentuh pembangunan infrastruktur secara memadai.
Ia menyebut wilayah-wilayah seperti Desa Sandaran, Tanjung Mangkalihat, hingga pelosok Tanjung Manis, sebagai contoh nyata keterisolasian yang mencerminkan ketimpangan pembangunan yang akut.
“Kita perlu ketahui bahwa mereka itu terisolir,” ujarnya dalam forum tersebut.
Menurutnya, kondisi terisolasi itu bukan hanya sekadar soal geografis yang sulit dijangkau, tetapi juga mencakup ketiadaan layanan-layanan dasar yang semestinya telah menjadi bagian dari hak dasar warga negara.
Infrastruktur seperti jalan yang layak, aliran listrik, dan akses terhadap air bersih masih menjadi barang langka di desa-desa tersebut.
Lebih memprihatinkan lagi, ia mengungkap bahwa hingga saat ini, tidak kurang dari 17 desa di wilayah Kutai Timur belum juga menikmati aliran listrik dari negara. “Ini harus menjadi perhatian kita,” tegas Agusriansyah.
Sorotan tersebut ia tujukan tidak semata sebagai kritik, melainkan sebagai pengingat bahwa masih terdapat kesenjangan besar dalam pembangunan antarwilayah di Kalimantan Timur.
Di saat kawasan perkotaan dan pusat-pusat ekonomi menikmati fasilitas modern dan berbagai kemudahan akses, warga di pelosok Kutai Timur harus bertahan dalam keterbatasan yang nyaris tak berubah dari tahun ke tahun.
Agusriansyah menilai, ketimpangan ini mencerminkan kegagalan dalam mewujudkan pemerataan pembangunan sebagaimana semestinya menjadi semangat dasar dalam penyusunan RPJMD provinsi.
Ia menyatakan bahwa dokumen RPJMD tidak boleh terjebak dalam deretan program-program ambisius tanpa fondasi yang berpijak pada realitas sosial masyarakat, terutama mereka yang tinggal di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
“Pembangunan itu bukan hanya di kota, tetapi harus menjangkau yang jauh dan selama ini belum tersentuh,” ujarnya menegaskan.
Dalam pandangannya, keberpihakan anggaran terhadap wilayah-wilayah terpencil menjadi unsur yang mutlak dihadirkan dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tanpa intervensi anggaran yang serius dan berkeadilan, kata dia, maka siklus ketimpangan akan terus berulang dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya.
Ia berharap pemerintah provinsi dan seluruh pemangku kepentingan mampu menjadikan persoalan di Kutai Timur sebagai cermin untuk memperbaiki arah pembangunan Kalimantan Timur secara keseluruhan.
Menurutnya, evaluasi mendalam terhadap penyusunan RPJMD harus menghasilkan sebuah rumusan yang tidak sekadar kuat dalam visi dan narasi, tetapi juga konkret dalam menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya mereka yang berada di daerah-daerah yang selama ini termarjinalkan dari perhatian pembangunan.
Agusriansyah menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa pembangunan sejati baru dapat dikatakan berhasil ketika tidak ada satu pun warga yang tertinggal, baik secara akses, pelayanan, maupun partisipasi dalam proses kemajuan daerah. (Adv)