Insitekaltim,Sangatta – Kepala Bidang Perlindungan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kutai Timur Adji Farmila Rachmi mengungkapkan telah mengembangkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).
“Sistem informasi ini memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pencatatan, pelaporan dan pengintegrasian data perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, yang memerlukan perlindungan khusus dan masalah lainnya bagi UPTD PPA dan penyelenggara layanan PPA,” paparnya saat ditemui langsung di ruang kerjanya, Selasa (31/10/2023).
Menurutnya, dalam Simfoni PPA terdapat tiga pihak yang bertanggung jawab untuk menginput data, yaitu DP3A sendiri, Kepolisian Resor (Polres) Kutim dan Rumah Sakit Kudungga.
“Namun, salah satu tantangan utama yang dihadapi di sini sering pergantian operator yang mengelola sistem,” ujarnya.
Sementara itu, ia mengungkapkan pada data Simfoni bahwa tahun ini, sebanyak 36 kasus telah masuk ke DP3A Kutai Timur dan mayoritas kasus tersebut melibatkan anak-anak.
“Terkait kekerasan terhadap perempuan, pada September terdapat empat kasus, sementara kekerasan terhadap anak mencapai 32, mencakup kasus pencabulan, pelecehan dan masalah yang sangat kompleks lainnya,” papar Adji Farmila.
Selain itu, kasus perdagangan orang atau trafficking juga menjadi perhatian, dengan tiga kasus tercatat pada tahun ini.
“Di sini sendiri untuk dikatakan trafficking itu agak susah, karena disini tidak selalu ada perantara dalam trafficking tersebut,” imbuhnya.
“Tidak semua kasus dapat dianggap sebagai trafficking, karena dalam beberapa kasus, mereka hanya melakukannya untuk kesenangan pribadi.
Lebih lanjut, kasus trafficking melibatkan anak-anak sebaya SMP dan SMA. Penyebabnya beragam, termasuk kurangnya perhatian dari orang tua, masalah rumah tangga yang retak dan dalam beberapa kasus, masalah ekonomi. Meskipun faktor ekonomi biasanya hanya berperan sedikit.
Adji Farmila menjelaskan bahwa DP3A Kutai Timur memiliki tim yang dilengkapi dengan psikolog untuk menangani laporan kasus. Mereka turun ke lapangan, mendengarkan cerita korban, dan memberikan bimbingan yang diperlukan. Jika diperlukan, kasus tersebut akan dibawa ke pengadilan.
“Dari 32 kasus yang melibatkan anak-anak, terdapat 12 kasus pelecehan, 14 kasus pencabulan, 3 kasus penelantaran anak, dan 1 kasus kekerasan,” jelasnya.
“Pelaku kekerasan tersebut sering kali adalah individu dekat, seperti paman, ayah sambung, atau bahkan ayah kandung sendiri. Upaya perlindungan dan pendidikan menjadi sangat penting dalam mencegah kasus-kasus tragis seperti ini,” tandasnya.