Insitekaltim, Pasuruan – Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Pasuruan Raya (BEMPAS) menggelar dialog publik bertajuk “Bedah Kebijakan: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran” di Pendopo Kota Pasuruan, Minggu, 9 November 2025. Forum ini menjadi ruang refleksi mahasiswa untuk menakar janji politik pemerintah dan menelisik kesenjangan antara kebijakan nasional dan realitas di daerah.

Ketua pelaksana kegiatan, Muhammad Qommaruddin, mengatakan acara ini diinisiasi sebagai bentuk tanggung jawab moral mahasiswa dalam mengawal jalannya pemerintahan. “Ini bukan forum untuk menghakimi, tapi ruang refleksi. Kita ingin melihat sejauh mana janji-janji politik telah menjelma menjadi kebijakan nyata yang dirasakan masyarakat,” ujar Qommaruddin. Ia menambahkan, mahasiswa mesti tetap independen dan objektif dalam bersikap. “Peran kontrol sosial adalah jantung dari gerakan intelektual kampus,” katanya.
Koordinator Aliansi BEMPAS Raya, M. Ubaidillah Abdi, menyebut diskusi ini bukan ajang untuk memuji atau mencaci, melainkan sarana menimbang ulang arah kebijakan. Tema yang diusung, “Menjahit Kebijakan Nasional dengan Kebutuhan Lokal”, menurutnya lahir dari keresahan melihat jurang antara keputusan pusat dan realitas di lapangan. “Mengapa ‘menjahit’? Karena kita sering merasa ada benang yang putus antara kebijakan di Senayan dan Istana dengan apa yang dirasakan rakyat di gang-gang sempit Kota dan Kabupaten Pasuruan,” ujar Abdi, Senin, 10 November 2025.
Ia mencontohkan, di tingkat nasional pemerintah bicara soal proyek strategis bernilai triliunan rupiah. Namun di daerah, masyarakat masih berkutat dengan pungutan liar di sekolah dan akses pendidikan yang timpang. “Di sinilah urgensi diskusi ini, menjahit kembali benang yang putus agar kebijakan nasional benar-benar mendarat di bumi Pasuruan,” katanya.
Wali Kota Pasuruan, Adi Wibowo, yang hadir sebagai narasumber, menyambut baik forum yang digelar mahasiswa itu. Ia menilai momentum satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran merupakan saat yang tepat untuk beralih dari perdebatan visi dan misi menuju implementasi kebijakan. Menurutnya, arah pembangunan nasional kini bergerak dari fokus infrastruktur fisik menuju investasi sumber daya manusia. “Sehebat apa pun infrastruktur, yang menjalankan tetap manusia,” ujarnya.
Adi menyebut beberapa program nasional yang telah berjalan di Pasuruan, seperti Program Makan Siang Bergizi, di mana tujuh dari 23 dapur umum sudah beroperasi, serta Program Sekolah Rakyat untuk masyarakat miskin ekstrem. Namun, ia juga melempar tantangan balik kepada mahasiswa. Ia menilai gerakan kampus perlu naik kelas, dari gerakan moral menjadi gerakan intelektual yang praksis.
“Di Kota Pasuruan yang dikenal sebagai kota santri, angka penyalahgunaan narkoba masih tinggi. Begitu juga dengan kasus HIV/AIDS. Apakah ini sudah menjadi perhatian mahasiswa kita?” tanya Adi. Ia berharap mahasiswa tidak hanya berhenti pada kritik atau diskusi, tetapi juga turun langsung memberdayakan masyarakat. “Gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti di ruang wacana. Ia harus menjadi gerakan pemberdayaan – mendampingi UMKM, melakukan edukasi sosial, atau menginisiasi gerakan kemanusiaan,” ujarnya menutup.
Dialog publik ini menjadi pengingat bahwa hubungan antara mahasiswa dan pemerintah seharusnya bukan relasi konfrontatif, melainkan dialogis. Keduanya, seperti yang digambarkan tema kegiatan itu, sedang berupaya menyambung benang yang putus antara kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat di akar rumput.
Beta feature

