
Insitekaltim, Samarinda – Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur Agusriansyah Ridwan mengkritisi sistem penerimaan murid baru (SPMB) yang dinilai belum menyelesaikan akar persoalan pendidikan di daerah.
Kritik tersebut pun disampaikannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IV DPRD Kaltim bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur yang membahas persiapan SPMB tahun pembelajaran 2025/2026 di Gedung E DPRD Kaltim pada Selasa, 10 Juni 2025.
Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) ini menekankan bahwa paradigma berpikir dalam menyusun sistem pendidikan tidak bisa semata-mata berorientasi pada pola teknis semata, melainkan harus menyentuh pada aspek mendasar dan filosofis dari tujuan pendidikan nasional.
“Dua poin substansi ini harus menjadi dasar kerangka berpikir kita untuk berbicara soal SPMB. Yang kita diskusikan jangan hanya pola dan sistemnya, tetapi harus menyentuh substansinya,” tutur Agusriansyah kepada insitekaltim.
Agusriansyah merujuk pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara eksplisit menyebutkan tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa dalam batang tubuh konstitusi, Pasal 31 secara jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan.
Dalam konteks implementasi regulasi, Agusriansyah mengingatkan bahwa kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak serta-merta wajib dilaksanakan secara absolut. Menurutnya, terdapat klausul yang menegaskan bahwa regulasi tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
“Kalau masih menyisakan ketidakadilan dan ketidakmanusiaan dalam sisi pelaksanaannya, maka kita harus membutuhkan turunan aturan yang memenuhi semua kepentingan untuk pemenuhan aspek keadilan,” tegas Agusriansyah.
Ia menilai bahwa persoalan over kapasitas ruang belajar tidak seharusnya dijadikan dalih untuk membenarkan sistem yang tidak berpihak pada keadilan. Dalam banyak kasus, Agusriansyah menemukan fakta bahwa terdapat wilayah yang secara kapasitas ruang belajar sudah memadai, namun tetap menimbulkan persoalan lantaran peserta didik harus menempuh jarak yang jauh hanya karena ketentuan zonasi.
“Kita bisa lakukan pembaharuan terhadap Peraturan Gubernur atau Perda terkait penerimaan siswa baru, ini kan berkelanjutan terus,” sebutnya.
Ia juga menyoroti perlunya kebijakan pendidikan di Kalimantan Timur yang dirancang dengan pendekatan khas lokal. Menurutnya, tidak semua kebijakan dari pusat dapat serta-merta diterapkan di daerah yang memiliki kondisi geografis, infrastruktur, dan kepadatan penduduk yang berbeda.
Lebih jauh, Agusriansyah menekankan bahwa pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang representatif serta peningkatan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Kalimantan Timur harus menjadi prioritas. Dengan demikian, tidak ada lagi kecenderungan masyarakat memilih sekolah-sekolah tertentu karena ketimpangan mutu.
Selain itu, menurutnya, aspek aksesibilitas tidak boleh diabaikan dalam penyusunan kebijakan pendidikan.
“Dekat jauh itu tidak jadi masalah sebenarnya, tetapi fasilitas seperti bis sekolah, jalannya bagus. Ini yang harus kita pikirkan dari pada kita berkutat soal sistem penerimaannya,” kata Agusriansyah.
Ia menambahkan, indikator yang digunakan oleh Kementerian Pendidikan dalam menyusun regulasi kemungkinan besar didasarkan pada kondisi perkotaan yang tidak selalu relevan dengan situasi di daerah lain. Oleh karena itu, perlu ada fleksibilitas dalam penerapannya di tingkat daerah, dengan menyesuaikan pada kebutuhan dan tantangan lokal. (Adv)