
Insitekaltim, Samarinda – Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur Hartono Basuki menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi tenaga kerja di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) serta dampak ekonomi yang ditimbulkan di sekitar wilayah pembangunan.
Dalam wawancara yang berlangsung di ruang kerjanya di Kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Senin, 30 Juni 2025, Hartono menyebutkan bahwa pembangunan IKN, yang sejatinya diharapkan menjadi berkah bagi Kalimantan Timur, justru menyisakan banyak persoalan serius di lapangan.
Menurut Hartono, penanganan tenaga kerja dalam proyek-proyek pembangunan IKN dinilai jauh dari kata profesional. Ia bahkan mengibaratkan kondisi para pekerja seperti zaman romusha.
“Saya menyaksikan langsung di lapangan. Para pekerja itu diperlakukan seperti romusha. Mereka diangkut menggunakan truk pick up, dan setelah bekerja, pulangnya tidak dijemput. Perlakuan seperti ini tidak manusiawi. Ini menunjukkan bahwa penanganan tenaga kerja di IKN sangat tidak profesional,” tegas Hartono.
Ia menambahkan, aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pun sangat minim. Banyak perusahaan yang belum memperhatikan kesejahteraan dan keselamatan para pekeranya dengan baik.
“Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembangunan IKN masih belum memperlakukan tenaga kerja secara layak. K3-nya kurang diperhatikan, banyak juga yang mengeluh soal keterlambatan pembayaran. Sistem pengupahannya pun tidak menarik bagi tukang-tukang bangunan,” ungkapnya.
Hartono menjelaskan bahwa sistem kontrak yang digunakan, terutama oleh badan usaha milik negara (BUMN), kerap menyulitkan kontraktor lokal. Dalam praktiknya, pembayaran yang seharusnya dilakukan setiap 20 atau 30 hari justru bisa molor hingga 60 hari.
“Kontraktor pemula jadi tidak sanggup mengikuti ritme ini. Banyak masalah yang muncul, termasuk soal kualitas bangunan yang sulit dinilai karena hanya dilihat dari visual saja,” jelasnya.
Selain masalah ketenagakerjaan, Hartono juga mengungkapkan bahwa pembangunan IKN sempat memberikan dampak ekonomi luar biasa di awal pergerakannya. Tenaga kerja yang terlibat mencapai belasan ribu orang dan menciptakan perputaran uang yang tinggi di kawasan sekitar, termasuk di Kecamatan Sepaku.
“Awalnya memang luar biasa. Hingga tahun lalu, tenaga kerja bisa mencapai 14 ribu orang. Ekonominya hidup, masyarakat membangun kos-kosan, membuka warung, tempat makan, dan usaha-usaha kecil lainnya. Tapi sekarang sudah sangat berbeda,” katanya.
Saat ini, menurut Hartono, jumlah tenaga kerja menurun drastis. Akibatnya, banyak rumah kos, penginapan, hingga warung yang sepi pengunjung. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang kini kesulitan membayar cicilan dari investasi yang sebelumnya dilakukan.
“Teman-teman yang dulu berani ambil kredit kendaraan, bangun rumah kos dengan pinjaman bank, sekarang terpukul. Kos-kosan kosong, penginapan tidak laku, warung tidak ramai. Pertumbuhan ekonomi melambat dan menimbulkan masalah baru,” jelasnya.
Sebagai warga yang berdomisili di sekitar kawasan pembangunan IKN, Hartono menyatakan bahwa ia melihat dan merasakan langsung fenomena ini.
“Saya tinggal di sana. Ini bukan cerita dari luar, saya alami sendiri bagaimana perubahan drastis ini terjadi. Harus ada evaluasi total dari pemerintah pusat terkait skema pembangunan dan distribusi tenaga kerja di IKN,” tegasnya.
Hartono berharap pemerintah, khususnya pihak-pihak yang mengelola proyek di IKN, bisa lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dan profesionalisme dalam menangani tenaga kerja. Ia juga mendorong agar sistem pembayaran dan pengupahan bisa diperbaiki agar tidak merugikan kontraktor maupun pekerja.
“Pembangunan IKN tidak boleh hanya dipandang dari sisi infrastruktur semata, tapi juga dari dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Jangan sampai mimpi besar ini justru menyisakan luka bagi masyarakat lokal,” pungkasnya.