
Insitekaltim,Samarinda – Sengketa lahan antara warga Kelurahan Handil Bakti, Palaran dengan PT Internasional Prima Coal (IPC) kembali mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang difasilitasi oleh Komisi I DPRD Samarinda pada Selasa (13/8/2024). Pertemuan ini merupakan kali ketiga kedua pihak bertemu untuk mencari solusi atas sengketa lahan seluas 14 hektare yang menjadi klaim kedua belah pihak. Meski dokumen kepemilikan lahan dari PT IPC akhirnya diserahkan, penyelesaian sengketa ini masih jauh dari selesai.
Dalam pertemuan ketiga ini, PT IPC akhirnya menyerahkan dokumen kepemilikan lahan yang sebelumnya tidak pernah mereka tunjukkan. Penyerahan dokumen ini dianggap sebagai langkah penting, mengingat pada dua pertemuan sebelumnya, PT IPC belum dapat membuktikan kepemilikan mereka atas lahan yang disengketakan. Ketua Komisi I DPRD Samarinda Joha Fajal menganggap penyerahan dokumen ini sebagai awal yang baik untuk memeriksa lebih lanjut apakah ada tumpang tindih klaim lahan antara warga dan perusahaan.
Namun, meski dokumen tersebut telah diterima, Joha menegaskan bahwa keputusan akhir belum bisa diambil. “Sekarang kita sudah ada dokumen dari perusahaan, tinggal kita cek sama-sama apakah dokumen dari warga dan perusahaan tumpang tindih atau tidak,” kata Joha.
Jika terdapat tumpang tindih, jalan menuju penyelesaian melalui pengadilan atau mediasi lain masih terbuka.
Sebagai fasilitator, DPRD Samarinda berusaha untuk mencari solusi damai dalam sengketa ini. Namun, Joha Fajal mengingatkan bahwa DPRD bukan lembaga pengadilan dan tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan kebenaran klaim kepemilikan lahan. DPRD hanya dapat memberikan rekomendasi berdasarkan bukti yang ada.
“Kami harapkan dari pihak perusahaan ada kesepakatan yang bisa dilaksanakan,” tambah Joha.
Ia menekankan pentingnya solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Jika kesepakatan tidak tercapai, masing-masing pihak dipersilakan untuk menempuh jalur hukum.

Warga Kelurahan Handil Bakti, melalui kuasa hukumnya Paulinus Dugis, tetap berpegang pada klaim bahwa lahan yang disengketakan adalah milik mereka. Paulinus menyoroti bahwa warga tidak pernah menerima kompensasi atas pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT IPC pada tahun 2006. Hal ini menambah kerumitan sengketa, mengingat perusahaan mengklaim bahwa lahan tersebut telah dibebaskan dan kini berada dalam penguasaan mereka.
“Sampai sekarang, warga tidak menerima pembebasan oleh siapapun, termasuk oleh perusahaan,” tegas Paulinus.
Hal ini memicu pertanyaan tentang transparansi dan keabsahan proses pembebasan lahan yang dilakukan hampir dua dekade lalu.
Jika mediasi yang difasilitasi oleh DPRD tidak menghasilkan kesepakatan, tidak menutup kemungkinan sengketa ini akan dibawa ke jalur hukum. Paulinus Dugis juga tidak mengelakkan hal ini, terutama setelah mengetahui bahwa saham mayoritas PT IPC dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini bisa menambah dimensi baru dalam sengketa, mengingat keterlibatan negara dalam kepemilikan perusahaan.
“Semua permasalahan itu ada potensi akan ke sana (pengadilan),” ujar Paulinus
Dengan dokumen kepemilikan dari PT IPC yang baru diserahkan, pertemuan lanjutan akan diadakan untuk memeriksa bukti-bukti tersebut dan mencari titik temu antara kedua belah pihak. Jika tidak ada kesepakatan yang tercapai, pengadilan menjadi opsi terakhir untuk menyelesaikan sengketa ini.