Insitekaltim,Samarinda – Komisi I DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) akan kembali memanggil PT Budi Duta Agromakmur (Budi Duta) terkait dugaan penelantaran hak guna usaha (HGU) pengelolaan lahan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Warga setempat meminta pencabutan HGU untuk sekitar 280 hektare lahan yang mereka klaim telah ditinggalkan oleh PT Budi Duta.
Ketua Komisi I DPRD Kaltim Baharuddin Demmu menyatakan bahwa kondisi ini telah mengecewakan warga dan mereka menuntut agar HGU atas lahan tersebut dicabut. Ia menekankan bahwa jika lahan tersebut terlantar, pemerintah seharusnya mengeluarkan izin untuk pengelolaan oleh masyarakat.
“Kalau memang jadi lahan terlantar, pemerintah seharusnya mengeluarkan izin agar bisa dikelola masyarakat,” ungkapnya usai RDP di Gedung D DPRD Kaltim.
Pihak Komisi I DPRD Kaltim berencana meminta penjelasan dari PT Budi Duta terkait kesepakatan yang telah dilakukan dengan warga di wilayah Kecamatan Loa Kulu, Loa Jonan, dan Tenggarong, terutama dalam konteks perjanjian pemanfaatan lahan bersama (PPLB) yang diduga digunakan untuk pertambangan.
“Jadi salah satu yang harus mereka klarifikasi adalah tentang perjanjian pemanfaatan lahan bersama. Jadi, diduga menggunakan lahan itu untuk pertambangan,” imbuh Baharuddin.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa masyarakat merasa tidak dihargai karena HGU atas lahan tersebut dimiliki oleh PT Budi Duta, meskipun mereka telah tinggal secara turun temurun di sana sebelum perusahaan ini mendapatkan izin pada tahun 1981. Masyarakat juga tidak pernah menerima kompensasi.
“Maka ini yang menjadi catatan kami. Mereka harus dipanggil kembali. Kenapa pihak Budi Duta harus dipanggil karena banyak hal yang harus dia klarifikasi menyangkut apa yang dilakukan di wilayah izin HGU-nya perusahaan,” papar Baharuddin.
Komisi I DPRD Kaltim berencana melakukan kunjungan lapangan antara tanggal 20-27 Oktober 2023 untuk mengecek langsung kondisi lahan dan masyarakat di area tersebut.
Baharuddin mengungkapkan bahwa jika warga tidak memiliki sertifikat tanah, pemerintah perlu membantu dalam pembuatan sertifikat secara gratis. Terutama, masyarakat itu telah mendiami lahan tersebut dari generasi ke generasi dan memiliki hak atas tanah tersebut.
“Saya tidak perlu bicara sertifikat untuk masyarakat,” imbuhnya.
Selain itu, Baharuddin mengapresiasi kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang membebaskan biaya perubahan status tanah dari HGU menjadi sertifikat hak milik (SHM).
Namun, ia mengkritik kendala yang dihadapi dalam program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) akibat tumpang tindih antara izin HGU dan sertifikat lahan yang dimiliki masyarakat.
“Bahkan ada beberapa lahan masyarakat yang sudah bersertifikat itu ditindih atau berlapis oleh HGU. Ini sangat tidak adil,” pungkas Baharuddin.