Insitekaltim,Samarinda – Tim Gubernur untuk Pengawalan Percepatan Pembangunan (TGUP3) Provinsi Kalimantan Timur Abdullah Karim meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap pekerjaan yang tidak jelas dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Salah satunya perdagangan manusia yang juga dikenal dengan human trafficking. Di mana, korbannya akan diiming-imingi mendapat pekerjaan tanpa repot menyiapkan syarat administrasi dan diperdaya mendapat gaji yang besar.
Tanpa diketahui, angan-angan mendapat pekerjaan yang memiliki gaji besar hanya tertinggal penyesalan. Beberapa kasus human trafficking adalah diperbudak, dieksploitasi secara seksual dan banyak lagi.
“Human trafficking merupakan kejahatan besar yang terorganisir dan sangat sulit diatasi,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Persiapan Penyusunan Rencana Aksi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan Termasuk TPPO Tahun 2024 yang digelas Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Samarinda, Rabu (14/8/2024).
Dipaparkan Abdullah, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, lebih dari 40 juta orang di dunia menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan satu dari empat korban adalah anak-anak berusia 6-12 tahun.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat peningkatan kasus TPPO di Indonesia dari 213 menjadi 400 kasus pada tahun 2020, sebagian besar terkait penempatan pekerja migran dan perbudakan di sektor perikanan, perkebunan kelapa sawit dan domestik.
Ia juga menjelaskan bahwa korban TPPO mayoritas adalah perempuan dan anak-anak yang dieksploitasi secara seksual. Bahkan tidak pandang gender, kemungkinan banyak kasus human trafficking terjadi pada pria.
Pada kasus pria, Abdullah mengatakan iming-imingnya adalah bekerja sebagai awak buah kapal yang tidak memerlukan dokumen-dokumen seperti pekerjaan lainnya. Mereka dibuai gaji tinggi dan pada akhirnya diperbudak atau tidak menutup kemungkinan dieksploitasi secara seksual.
Adapun tanda-tanda yang disebutkannya tadi seperti dokumen yang tidak diperlukan, gaji yang ditawarkan besar dan tidak sesuai pendapatan berdasarkan pekerjaannya di negara tersebut atau tidak adanya kejelasan identitas dan izin lembaga dari si pemberi kerja. Tanda-tanda tersebut harus diwaspadai.
“Pelakunya termasuk agen, perekrut tenaga kerja, majikan, calo pernikahan, hingga anggota keluarga,” jelasnya.
Kemiskinan, rendahnya pendidikan dan lemahnya penegakan hukum, kesadaran masyarakat yang kurang, peran perempuan yang kurang diperhatikan dalam keluarga, disebutkannya sebagai faktor utama penyebab TPPO.
Abdullah menyampaikan soal pencegahan pertama yang bisa dilakukan adalah dari perangkat daerah. Misalnya Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan (Disdikbud) dapat menyosialisasikan terkait adanya human trafficking.
Bisa juga melalui Dinas Ketenagakerjaan ikut menyosialisasikan modus-modus pekerjaan tidak wajar yang mengarah pada human trafficking.
“Kita harus bersama-sama membantu menghilangkan trauma sosial yang dialami korban, seperti rasa malu hingga depresi berat,” tutupnya.