
Insitekaltim, Samarinda – Rencana pembangunan pabrik etanol di Kalimantan Timur mendapat sorotan dari Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim Sapto Setyo Pramono. Menurutnya, proyek ini perlu ditinjau secara cermat dari aspek ketersediaan bahan baku dan dampaknya terhadap lingkungan hidup.
Pabrik etanol direncanakan mulai dibangun pada 2028–2029 sebagai bagian dari transformasi energi nasional berbasis sumber daya lokal. Namun, Sapto mengingatkan pentingnya memastikan daya dukung alam di Kaltim benar-benar cukup sebelum proyek dimulai.
“Pabrik etanol itu perlu dilihat sejauh mana potensi bahan baku yang tersedia di Kaltim. Memang batu bara kita besar, tapi kan tidak semuanya bisa kita ambil begitu saja. Harus ada keseimbangan antara kebutuhan investasi dan pelestarian lingkungan,” ujar Sapto di Samarinda pada Sabtu 19 Juli 2025.
Selama lebih dari tiga dekade, Kaltim mengalami tekanan eksploitasi sumber daya alam. Bahkan sejak masa kolonial, wilayah ini menjadi lokasi utama penambangan dan pengambilan bahan mentah untuk kebutuhan nasional. Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran jika proyek energi skala besar kembali berjalan tanpa pendekatan berkelanjutan.
“Kita ini sudah lebih dari 30 tahun, bahkan sejak zaman Belanda, menggali kekayaan alam. Maka itu harus kita pikirkan juga dampaknya jangka panjang, terutama bagi anak cucu kita,” ucapnya.
Sapto mendorong agar pemerintah daerah tidak pasif dalam merespons rencana pembangunan ini. Keterlibatan sejak awal sangat penting, terutama dalam pengkajian lokasi, perhitungan pasokan bahan baku, dan potensi risiko terhadap lingkungan.
“Pemerintah provinsi jangan hanya menunggu. Harus ikut mengkaji, mengawal, dan memastikan semua proses berjalan sesuai prinsip berkelanjutan,” ucap politisi Golkar itu.
Ia juga menyorot pentingnya kejelasan manfaat yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Proyek investasi energi seharusnya tidak hanya berdampak di atas kertas, melainkan hadir dalam bentuk nyata seperti lapangan kerja, dukungan ekonomi, dan teknologi ramah lingkungan.
“Jangan sampai pabrik berdiri, bahan baku tidak jelas, dan masyarakat justru tidak dapat manfaatnya. Kita harus benar-benar pastikan ini memberi nilai tambah,” tutup Sapto.